SELAMAT DATANG

SELAMAT BERJUMPA DENGAN SUSANTRONIKA
SHARING MEMPERLUAS WAWASAN DAN PENGETAHUAN

Sabtu, 15 Oktober 2011

RPP DASAR SINYAL VIDEO DENGAN EEK


Mata Pelajaran            : MENJELASKAN DASAR-DASAR SINYAL VIDEO
Kelas/ Semester           : XI
Pertemuan                   : 1-5
Alokasi Waktu            : 5 X 45’
Stantard Kompetensi  : MENJELASKAN DASAR-DASAR SINYAL VIDEO
Kompetensi Dasar      : Menjelaskan hubungan jumlah piksel dan kualitas resolusi gambar
Indikator                     :
·   Memahami pengertian tentang resolusi gambar
·   Memaham hubungan piksel dan resolusi
·   Menghitung kualitas resolusi gambar
·   Pengaruh piksel terhadap kualitas gambar


       I.      Tujuan Pembelajaran
1.      Siswa dapat memahami pengertian tentang piksel
2.      Siswa dapat memahami pengertian tentang resolusi gambar
3.      Siswa dapat memaham hubungan piksel dan resolusi
4.      Siswa dapat menghitung kualitas resolusi gambar
5.      Siswa dapat memahami pengaruh piksel terhadap kualitas gambar

    II.      Materi Pembelajaran
1.    Text Box:  
Gambar 5-1. Susunan titik pembentuk gambar
Element Gambar
Sebuah gambar pada dasarnya tersusun dari sekumpulan titik-titik wara. Untuk mengetahuinya, prinsip pertama adalah dengan membagi suatu gambar menjadi titik-titik warna (color dots) caranya dengan memperbesar gambar menjadi beberapa kali lipat sehingga tampak kotak-kotak. Perhatikan gambar di bawah ini. Otak kita secara otomatis akan mengumpulkan kembali titik-titik tersebut menjadi sebuah gambar. Tetapi jika diperbesar kembali, gambar tampak berbeda dan terlihat ada kotak-kotak pembentuk gambar. Bukan hal yang mudah untuk mengenali gambar seperti ini, seperti halnya pemrosesan pada program komputer untuk memahami sebuah gambar. Satu-satunya cara kita untuk melihat yang benar-benar terjadi adalah dengan memperbesar gambar tersebut, sampai otak kita tidak dapat mengolah/memahami gambar tersebut. Layar televisi dan komputer menyaring (seperti halnya foto pada majalah dan surat kabar) tersusun dari kumpulan titik-titik pembentuk gambar. Pada televisi atau komputer, titik ini disebut pixel (picture element) dengan ukuran jumlah titik horisontal x jumlah titik vertikal. Misalnya layar dengan resolusi 1024x768 pixel, artinya ada 1024 titik horisontal untuk tiap 1 titik vertikal. Jadi totalnya ada 786.432 titik pembentuk gambar. Karena begitu banyaknya titik element gambar, maka gambar terlihat lebih halus.
Ada 2 cara mendeskripsikan ukuran dari sebuah layar yaitu aspek ratio dan ukuran layar (screen size). Secara turun temurun, display komputer seperti TV pada umumnya mempunyai sebuah aspek rasio 4:3. Artinya perbandingan dari lebar dan tinggi layar adalah 4:3. Untuk layar lebar (widescreen) memiliki aspek ratio 16:9 (ada beberapa yang perbandingannya 16:10 atau 15:9). Layar ini biasanya digunakan untuk menampilkan film DVD yang memiliki format widescreen. Sistem HDTV juga menggunakan aspek ratio 16:9. Semua tipe dari display termasuk  permukaan proyeksi (projection surface), biasanya dikenal sebagai layar (screen). Ukuran layar secara normal diukur dengan satuan inchi, dimulai dari satu sudut sampai sudut seberang lain secara diagonal. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar 5-2 dan gambar 5-3 di bawah ini.
Namun, cara yang digunakan untuk mengukur layar (screen) Monitor LCD dan CRT ternyata berbeda. Untuk layar CRT, ukuran layar diukur secara diagonal dari tepi luar body layar. Dengan kata lain, lapisan terluar ikut diukur seperti yang ditunjukkan pada gambar disamping.
Gambar 5-2. CRT screen size
 Untuk layar LCD, Untuk layar LCD, layar diukur secara diagonal dari sisi dalam bingkainya. Dengan kata lain, tepi luar tidak ikut diukur seperti halnya pada CRT
Gambar 5-3. LCD screen size
Karena perbedaan dalam hal mengukur CRT dan LCD, maka LCD 17” layak jika dibandingkan dengan CRT yang berukuran 19”. Untuk lebih akurat dalam perbandingannya, bandingkanlah viewable screen size seperti tampak pada gambar 5-2 di atas. Ukuran layar pada umumnya adalah 15, 17, 19 dan 21 inchi. Tetapi untul notebook, ukuran layarnya lebih kecil, umumnya mulai dari 12 hingga 17 inchi. Kemajuan teknologi, memungkinkan diciptakannya layar berukuran besar bahkan lebih dari 40” misalnya pada information displays untuk publik maupun dalam bidang medis.
 III.      Metode Pembelajaran
1.      Ceramah.
2.      Diskusi.
3.      Demonstrasi.

 IV.      Langkah-Langkah Pembelajaran
A. Kegiatan awal.
1. Salam pembuka dan doa.
2. Absensi.
3. Menjelaskan tujuan pembelajaran dan cakupan materi sesuai silabus.
4. Menguji pengetahuan dasar siswa tentang gambar dengan menanyakan:
a. Pembentukan lukisan kristik (lukisan dari benang).
B. Kegiatan inti.
1. Eksplorasi
a.  Menjelaskan secara singkat elemen gambar, pixel dan pengaruhnya pada resolusi gambar.
b.  Menyuruh siswa untuk melihat jumlah pixel untuk HP nya, kemudian dibandingkan dengan    HP lainnya.
2. Elaborasi
a. Memfasilitasi siswa untuk mendiskusikan materi
b. Membuat laporan hasil diskusi.
c. Mempresentasikan hasil diskusi.
3. Konfirmasi
a.  Memberikan umpan balik pada peserta didik dengan memberi penguatan dalam bentuk lisan pada hasil pekerjaan peserta.
b.  Memberi konfirmasi pada hasil pekerjaan yang sudah dikerjakan oleh peserta didik melalui sumber buku lain dan internet.
c.  Memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang sudah dilakukan.
d. Memberikan motivasi kepada peserta didi yang kurang dan belum bisa mengikuti dalam materi.
C. Kegiatan akhir.
1.      Peserta didik membuat rangkuman dari materi
2.      Peserta didik dan guru melakukan refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan.
3.      Peserta didik diberikan pekerjaan rumah (PR) berkaitan dengan materi .
4.      Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.

    V.      Alat/ Bahan/ Sumber Belajar
1.      Buku Modul Menjelaskan dasar-dasar Video, Direktorat pembinaan SMK, 2008. Halaman 252.

 VI.      Media
1.      Komputer.
2.      LCD.

VII.      Penilaian
Tugas Terstruktur:
1.   Mendiskusikan proses pembagian elemen gambar, jumlah pixel dan resolusi.

Tugas Mandiri:
1.      jelaskan mengertian pixel
2.      jelaskan resolusi gambar
3.      jelaskan hubungan piksel dan resolusi
4.      jelaskan perhitungan kualitas resolusi gambar
5.      jelaskan pengaruh piksel dan resolusi terhadap kualitas gambar

Kunci Jawaban:
1. Pixel adalah jumlah elemen-elemen atau titik gambar. Gambar dibagi menjadi jutaan titik atau elemen gambar.
2. Resolusi gambar adalah tingkatan kehalusan gambar.
3. Piksel adalah jumlah elemen gambar yang akan mempengaruhi resolusi gambar.
4. Perhitungan kualitas resolusi gambar adalah: jumlah elemen gambar arah horizontal X arah vertical. Misalnya resolusi gambar 1024 x 400 pixel, maksudnya jumlah elemen gambar arah horisonta 1024, dan arah vertical 400 pixel.
5. Semakin banyak jumlah pixel, maka gambar semakin halus.

Norma penilaian
No. 1 benar nilai :   20
No. 2 benar nilai :   20
No. 3 benar nilai :   20
No. 4 benar nilai :   20
No. 5 benar nilai :   20
          Total Nilai : 100




Klaten, 9 Agustus 2011
Guru Mata Pelajaran

Susanto Budi Purnomo, SPd

Kamis, 01 September 2011

MENGGULUNG TRANSFORMATOR/ TRAFO

Inti trafo bekas yang terbuat dari besi sungguh sayang jika di buang. Inti Trafo dapat di manfaatkan untuk dibuat trafo lagi, mengingat harga trafo sekarang sangat mahal. Transformator banyak digunakan pada peralatan elektronika termasuk stavolt yang digunakan pada computer. Cara menggulungnya searah dengan jumlah gulungan disesuaikan tegangan yang dibutuhkan. Jumlah gulungan trafo untuk setiap 1 Volt adalah:

Jumlah lilit 1 V = (50 / diameter koker) + toleransi 10 %




Ukuran Koker dalam Cm dan diukur bagian dalamnya (bagian yang untuk menggulung lilitan.
Semakin besar inti trafo/ diameter koker jumlah lilitan makin sedikit.
Contoh:
Diketahui Lebar koker 3,5 Cm, Panjang 5 Cm.
Diameter koker 2x (3,5 + 5 Cm) = 17 Cm.
Jumlah lilit tiap 1 Volt = (50/ 17) + ((50/17) x 0,1))
                                       = (2,94) + (2,94 x 0,1) = 2,94 + 0,3
                                       = 3,24 lilit tiap 1 Volt.
Jumlat lilit untuk tegangan 220 V = 220 x 3,24 = 712,8  = 713 lilit.
Jumlah lilit Untuk tegangan 12 V  =    12 x 3,24 = 38,88 =   39 lilit.
Jumlah lilit untuk tegangan 3 V     =      3 x 3,24 = 9,72   =   10 lilit.
Tegangan dapat di buat bertingkat, perhatikan gambar :

Langkah Kerja:
1. Menyiapkan Inti Trafo yang berbentuk huruf E dan I.
2. Membuat koker trafo dengan bahan isolator. Paling mudah menggunakan PCB yang dilarutkan tembaganya.
3. Ukuran koker tergantung ukuran inti besi yang dipakai, sehingga ukuran koker diukur dengan inti trafo. Perhatikan gambar:

4. Potongan bagian-bagian koker di atas di susun dan diberi perekat lem castol/ Fox.
5. Kawat email digulung pada koker dengan arah gulungan tetap, dan jumlah lilitan sesuai kebutuhan tegangan.
6. Diameter kawat email akan menentukan arus out put trafo. makin besar diameter kawat, arusnya makin besar.
7. Antara lapisan gulungan primer dan sekunder diberi lapisan kertas minyak untuk mencegah kebocoran arus PLN      masuk ke gulungan skunder.





Sabtu, 27 Agustus 2011

MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF BERBASIS RISET

Pendahuluan
Mutu pendidikan sains di Indonesia masih rendah. Sebagai contoh, hasil studi the Third International Mathematics and Science Study-Repeat (TIMSS-R : 999, dalam Tim BBE Depdiknas : 2001) melaporkan prestasi siswa SLTP di Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA dan pada urutan 34 untuk matematika dari 38 negara peserta yang distudi di Asia, Australia dan Afrika. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Dirjen Dikdasmen (2002) yang menyatakan beberapa indikasi bahwa mutu pendidikan di Indonesia belum meningkat yakni : (1) ketidakpuasan berjenjang, dimana sekolah lanjutan merasakan bahwa bekal siswa yang masuk (lulusan sekolah sebelumnya) kurang baik, (2) gejala lulusan SLTP dan sekolah menengah yang menjadi pengangguran di pedesaan karena tidak mampu menerapkan pengetahuan yang didapat di sekolah dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh dinyatakan bahwa 34,4 % lulusan SLTP tidak melanjutkan ke sekolah menengah.
Selain pemahaman, faktor penunjang rendahnya mutu pendidikan sains adalah kurang dikembangkannya keterampilan berpikir dan keterampilan proses sains di dalam kelas. Keterampilan berpikir merupakan aspek penting dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Jika keterampilan berpikir tersebut tidak dilatih terus menerus dalam kegiatan belajar dapat dipastikan kemampuan siswa dalam menyelesaikan berbagai permasalahan akan sangat minimal dan kurang berkualitas. Keterampilan proses sains melatih siswa dalam proses berpikir dan membentuk manusia yang mempunyai sikap ilmiah.
Dalam pendidikan sains diperlukan aspek kreativitas. Kreativitas dapat dicapai diantaranya melalui keterampilan berpikir kreatif. Pengembangan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains pada siswa yang dimulai sejak awal akan membentuk kebiasaan cara berpikir siswa yang sangat bermanfaat bagi siswa itu sendiri di kemudian hari. Pembelajaran dengan komputer dapat meningkatkan minat dan menumbuhkembangkan kreativitas siswa.
Upaya peningkatan mutu pendidikan telah dilakukan, baik melalui pengembangan mutu tenaga pengajar, penyelenggaraan pendidikan, serta pembangunan berbagai fasilitas penunjang proses pendidikan. Upaya-upaya tersebut ternyata belum menghasilkan perubahan secara nyata (Liliasari : 1997). Oleh karena itu masih perlu upaya dilakukannya pengembangan model pembelajaran dalam berbagai aspek seperti model pembelajaran berbasis komputer yang melatih siswa untuk berpikir kreatif dan keterampilan proses sains.
Model pembelajaran yang dikembangkan diharapkan dapat meningkatkan penguasaan konsep, keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains siswa. Selain itu keberhasilan model pembelajaran yang dikembangkan dapat diharapkan menjadi percontohan model-model pembelajaran sejenis, untuk topik-topik bahan kajian yang lain dalam berbagai bidang studi.
Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Secara jujur harus diakui, proses pembelajaran yang didesain oleh guru sat ini masih mengebiri potensi siswa didik. Alih-alih berlangsung interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik, proses pembelajaran pun tak jarang berlangsung monoton dan membosankan.
Menurut hemat saya, TIK bisa dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan pembelajaran apabila para guru yang berdiri di garda depan dalam dunia pendidikan kita tidak “gaptek”. Minimal, mereka bisa mengoperasikannya sehingga siswa didik bisa “menikmati” media pembelajaran dengan segenap emosi dan pikirannya. Sebuah kesia-siaan apabila sekolah “dimanja” dengan berbagai piranti teknologi mutakhir, tetapi mereka tak sanggup memanfaatkannya secara maksimal.
Dalam konteks pembelajaran berbasis TIK, marilah kita tumbuhkan minat dan kemauan yang besar untuk sama-sama belajar dan saling berbagi informasi. Sekarang ini sudah terbuka lebar kran informasi dan sumber-sumber belajar baik melalui buku-buku atau media elektronik. Jangan berkutat pada satu buku referensi saja, kalau tidak mau dikatakan “gaptek”. Kedua, jangan pernah merasa sudah cukup pintar, jika demikian maka anda akan seperti katak dalam tempurung.
Ketiga, sesekali kunjungi situs-situs internet yang menyajikan berbagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat sehingga dapat memperluas cakrawala pengetahuan. Sepatutnya kita berterimakasih kepada pemerintah yang sudah tanggap akan kebutuhan informasi. Sekarang ini kita sudah bisa akses internet secara gratis melalui jejaring pendidikan nasional (Jardiknas) untuk sekolahsekolah yang sudah terjangkau. Manfaatkan fasilitas tersebut secara optimal, gunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

Teknologi Informatika
Teknologi informatika ini dalam pembahasan selanjutnya oleh penulis akan disingkat menjadi TI pada umumnya sudah banyak digunakan untuk berbagai macam keperluan, tetapi seiring perkembangannya, sekarang ini sudah mulai digunakan untuk proses pembelajaran di sekolah-sekolah.
Menurut Heris Syamsuri, S.T, dalam sebuah tulisannya yang dimuat koran TAJUK edisi 26 September 2007 tentang TI, mengatakan bahwa; TI berdasarkan fungsinya dibagi menjadi : Sistem Teknologi Informasi yang melekat (Embedded IT System), yaitu sistem TI yang melekat pada produk lain. Contohnya; Video Casette Recorder (VCR) memiliki sistem TI yang memungkinkan pemakainya merekam tayangan televisi. Sistem Teknologi Tnformasi yang khusus (Dedicated IT System), yaitu sistem TI yang dirancang untuk melakukan tugas khusus. Misalnya ATM (Automatic Teller Machine) yang dibuat khusus untuk melakukan transaksi antara bank dengan nasabahnya.Sistem Teknologi yang dirangcang untuk berbagai keperluan umum (Multy Purpose IT System), misalnya saja komputer PC (Personal Computer). Dengan PC ini seseorang dapat melakukan kegiatan apa saja sesuai dengan keperluannya masing-masing. Misalnya untuk pekerjaan administrasi, penghitungan keuangan, permainan atau game dan lain-lain.

Inovasi Teknologi Informatika
Seperti telah dibahas di atas, bahwa perkembanagan TI dewasa ini telah berimbas pada dunia pendidikan, dengan ditandai oleh munculnya berbagai inovasi dan kreasi dalam proses penyampaian bahan ajar kepada peserta ajar.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa dalam proses pendidikan terapat 3 proses inti pendidikan (Core processes), yaitu; Pengajaran (Teaching), Penelitian (Research), dan Pelayanan (Services), dimana ketiganya menjadi sumber akses bagi penggunaan dan pemanfaatan TI.
Ada beberapa konsep yang melatar belakangi penggunanaan TI untuk kegiatan pendidikan, dan beberapa diantara sudah banyak diteapkan di sekolahsekolah baik tingkat dasar maupun tingkat menengah, apalagi di perguruan tinggi.
Penggunanaan teknologi ini telah berdampak langsung dan tidak langsung terhadap cara penyelenggaraan pendidikan yang mengarah pada peningkatan mutu sumberdaya manusia (Soesianto dan Indrajit, 2004). Konsep-konsep tersebut diantaranya adalah:
1.      Penggunanaan teknologi IT untuk membantu tenaga pendidik dalam penyelenggaraan proses pembelajaran, terutama digunakan sebagai alat penggambaran/ilustrasi dari pelajaran yang sedang diajarkan sehingga peserta didik memperoleh gambaran jelas keterkaitan antara teori dengan gambaran nyatanya. Program aplikasi yang sering digunakan untuk keperluan ini adalah: Simulation Game, Multy media presentation, Interactive Study case, dan sebagainya.
2.      Course Management.
Course management adalah penggunaan TI untuk membantu pengajar maupun peserta didik dalam melakukan interaksi, kooperasi, dan komunikasi untuk penyelenggaraan sebuah kelas dengan mata ajar tertentu. Dengan bantuan aplikasi jaringan (Web), maka segala tugas, PR, dan tugastugas lainnya dapat dilakukan dengan cara di-Download dari alamat situs tertentu yang dianggap relevan.
3.      Virtual Class
Teknologi ini memungkinkan adanya kelas maya atau Virtual class. Kelas maya ini adalah penyelenggaraan proses belajar mengajar dari jarak jauh dengan memanfaatkan beberapa software khusus yang dihubungkan melalui jalur internet. Salah salah satu diantaranya adalah dengan teknologi Video Cronfrence.
4.      Computer Based Training (CBT)
Konsep ini dianggap paling ampuh dalam menerapkan sistem belajar secara mandiri. Dengan cara seperti ini seorang peserta didik dapat mencari berbagai sumber literatur mata ajar yang diperlukannya dari internet. Sumber literatur yang ada di internet sangat banyak jumlahnya, jauh melebihi daya tampung perpustakaan yang ada di sekolah-sekolah pada umumnya. Disamping itu pula, peserta didik dapat mempelajari sesuatu hal dari beberapa software yang sengaja dirancang untuk memberi kemudahan bagi seseorang dalam mempelajari sesuatu hal yang ingin dipelajarinya. Misalnya saja cara membuat animasi, cara membuat halaman Situs Web (Web Site) dan sebagainya.
5.      Knowledge Portal.
Knowledge Portal (Portal Pengetahuan), adalah sekumpulan alamat situs web yang memiliki berbagai macam reverensi dari berbagai disiplin ilmu. Seseorang yang mencari informasi tentang salah satu disiplin ilmu, dengan mudah dapat langsung mengaksesnya melalui portal ini. Oleh sebab itu, keberadaan portal ini sangat membantu para pendidik dan peserta didik dalam upaya mengembangkan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya.
6.      Cyber Community
Kata cyber berasal dari kata Cybernetic, yaitu cara pengendalian dari jarak jauh. Jadi kata cyber memiliki konotasi adanya “pengendalian” dan “Jarak yang jauh”. Belakangan ini, kata cyber lebih dikaitkan dengan keberadaan Intenet, yang notabene merupakan produk perkembangan teknologi elektronik. Oleh sebab itu kita mengenal adanya beberapa istilah yang diawali oleh huru “E-”. Misalnya saja E-Banking, yang berarti segala aktivitas perbankan yang dijalankan melalui internet. E-Commerce, berarti kegiatan perdagangan yang dijalankan melalui jalur internet, termasuk juga di dalamnya E-Learning, yang berarti segala aktifitas belajar yang dijalankan melalui peran serta produk teknologi elektronik termasuk didalamnya penggunaan internet.

Media Pembelajaran
Semua bentuk sarana pendidikan disyaratkan mampu membantu peserta didik memahami bahan ajar yang diberikan tenaga pendidik kepadanya, disamping harus pula mampu membangkitkan minat belajar pada peserta didik tersebut.
Sarana pendidikan sebagai media pendidikan harus mampu membangkitkan rangsangan indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pengecapan serta penciuman. Untuk tujuan tersebut maka seorang pendidik perlu memiliki sebuah media pembelajaran yang memadai, agar bahan ajar dapat diserap peserta didik dengan sebaik-baiknya. Menurut Kemp (1975), karakteristik sebuah media pembelajaran merupakan dasar pemilihan media sesuai dengan situasi belajar tertentu. Dia juga mengatakan, bahwa pengetahuan mengenai kekurangan dan kelebihan tertentu yang dimiliki oleh sebuah media pembelajaran, adalah sesuatu yang sangat penting diketahui oleh para tenaga pendidik.
Dua orang ahli pendidikan dari Perancis Gagul dan Raise, berpendapat; dalam menentukan pemilihan media penyampaian pesan tertentu secara umum, ada kaitannya dengan media pembelajaran. Dengan kata lain teknik dan strategi penyampaian informasi yang dilakukan oleh orang umum, pasti akan berlaku juga dalam dunia pendidikan.
Pendapat lain mengenai prosedur pemilikan media komunikasi, dikemukakan oleh Anderson. Menurutnya, prosedur pemilihan media dimulai dari pertanyaan; Apakah media tersebut diperuntukan bagi keterampilan fisik atau kognitif?. Pertanyaan ini akan menentukan desain seperti apa media pembelajaran tersebut seharusnya dibuat.
Jika kita mengacu pada hasil penelian tersebut, maka pengguanaan program Microsoft Power Point ini akan sangat berdampak pada tujuan pembelajaran yang menekankan pengenalan visual dan prinsip konsep bahan ajar yang diberikan oleh tenaga pendidiknya.

Microsoft Power Point.
Microsoft Power Point merupakan sebuah software yang dibuat dan dikembangkan oleh perusahaan Microsoft, dan merupakan salah satu program berbasis multi media. Didalam komputer, biasanya program ini sudah dikelompokkan dalam program Microsoft Office.
Program ini dirancang khusus untuk menyampaikan presentasi, baik yang diselenggarakan oleh perusahaan, pemerintahan, pendidikan, maupun perorangan, dengan berbagai fitur menu yang mampu menjadikannya sebagai media komunikasi yang menarik.
Beberapa hal yang menjadikan media ini menarik untuk digunakan sebagai alat presentasi adalah berbagai kemampuan pengolahan teks, wana, dan gambar, serta animasi-animasi yang bisa diolah sendiri sesuai kreatifitas penggunanya.
Pada prinsipnya program ini terdiri dari beberapa unsur rupa, dan pengontolan operasionalnya. Unsur rupa yang dimaksud, terdiri dari slide, teks, gambar dan bidang-bidang warna yang dapat dikombinasikan dengan latar belakang yang telah tersedia. Unsur rupa tersebut dapat kita buat tanpa gerak, atau dibuat dengan gerakan tertentu sesuai keinginan kita.
Seluruh tampilan dari program ini dapat kita atur sesuai keperluan, apakah akan berjalan sendiri sesuai timing yang kita inginkan, atau berjalan secara manual, yaitu dengan mengklik tombol mouse. Biasanya jika digunakan untuk penyampaian bahan ajar yang mementingkan terjadinya interaksi antara peserta didik dengan tenaga pendidik, maka kontrol operasinya menggunakan cara manual. Penggunaan program ini pun memiliki kelebihan sebagai berikut:
1.      Penyajiannya menarik karena ada permainan warna, huruf dan animasi, baik animasi teks maupun animasi gambar atau foro.
2.      Lebih merangsang anak untuk mengetahui lebih jauh informasi tentang bahan ajar yang tersaji.
3.      Pesan informasi secara visual mudah dipahami peserta didik.
4.      Tenaga pendidik tidak perlu banyak menerangkan bahan ajar yang sedang disajikan.
5.      Dapat diperbanyak sesuai kebutuhan, dan dapat dipakai secara berulang-ulang
6.      Dapat disimpan dalam bentuk data optik atau magnetik. (CD / Disket / Flashdisk), sehingga paraktis untuk di bawa ke mana-mana.

Pemanfaatan TIK
Menurut pemanfaatannya, TIK di dalam pendidikan dapat dikategorisasikan menjadi 4 (empat) kelompok manfaat.
1.      TIK sebagai Gudang Ilmu Pengetahuan, di kelompok ini TIK dimanfaatkan sebagai sebagai Referensi Ilmu Pengetahuan Terkini, Manajemen Pengetahuan, Jaringan Pakar Beragam Bidang Ilmu, Jaringan Antar Institusi Pendidikan, Pusat Pengembangan Materi Ajar, Wahana Pengembangan Kurikulum, dan Komunitas Perbandingan Standar Kompetensi.
2.      TIK sebagai Alat bantu Pembelajaran, di dalam kelompok ini sekurang-kurangnya ada 3 fungsi TIK yang dapat dimanfaatkan sehari-hari di dalam proses belajar-
mengajar, yaitu:
a.       TIK sebagai alat bantu guru yang meliputi: Animasi Peristiwa, Alat Uji Siswa, Sumber Referensi Ajar, Evaluasi Kinerja Siswa, Simulasi Kasus, Alat Peraga Visual, dan Media Komunikasi Antar Guru.
b.      TIK sebagai Alat Bantu Interaksi Guru-Siswa yang meliputi: Komunikasi Guru-Siswa, Kolaborasi Kelompok Studi, dan Manajemen Kelas Terpadu.
c.       TIK sebagai Alat Bantu Siswa meliputi: Buku Interaktif , Belajar Mandiri, Latihan Soal, Media Illustrasi, Simulasi Pelajaran, Alat Karya Siswa, dan media Komunikasi Antar Siswa.
3.      TIK sebagai Fasilitas Pembelajaran, di dalam kelompok ini TIK dapat dimanfaatkan sebagai: Perpustakaan Elektronik, Kelas Virtual, Aplikasi Multimedia, Kelas Teater Multimedia, Kelas Jarak Jauh, Papan Elektronik Sekolah, Alat Ajar Multi-Intelejensia, Pojok Internet, dan Komunikasi Kolaborasi Kooperasi (Intranet Sekolah).
4.      TIK sebagai Infrastruktur Pembelajaran, di dalam kelompok ini TIK kita temukan dukungan teknis dan aplikatif untuk pembelajaran – baik dalam skala menengah maupun luas – yang meliputi: Ragam Teknologi Kanal Distribusi, Ragam Aplikasi dan Perangkat Lunak, Bahasa Pemrograman, Sistem Basis Data, Komputer Personal, Alat-Alat Digital, Sistem Operasi, Sistem Jaringan dan Komunikasi Data, dan Infrastruktur Teknologi Informasi (Media Transmisi). Berangkat dari optimalisasi pemanfaatan TIK untuk pembelajaran tersebut kita berharap hal ini akan memberi sumbangsih besar dalam peningkatan kualitas SDM Indonesia yang cerdas dan kompetitif melalui pembangunan masyarakat berpengetahuan (knowledge-based society). Masyarakat yang tangguh karena memiliki kecakapan: (1) ICT and media literacy skills), (2) critical thinking skills, (3) problem-solving skills, (4) effective communication skills, dan (5) collaborative skills yang diperlukan untuk mengatasi setiap permasalahan dan tantangan hidupnya. Peran Guru & Siswa.
Di dalam proses belajar-mengajar tentunya ada subjek dan objek yang berperan secara aktif, dinamik dan interaktif di dalam ruang belajar, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Guru & Siswa sama-sama dituntut untuk membuat suasana belajar dan proses transfer of knowledge–nya berjalan menyenangkan serta tidak membosankan. Oleh karena itu penataan peran Guru & Siswa di dalam kelas yang mengintegrasikan TIK di dalam pembelajaran perlu dipahami dan dimainkan dengan sebaik-baiknya. Kini di era pendidikan berbasis TIK, peran Guru tidak hanya sebagai pengajar semata namun sekaligus menjadi fasilitator, kolaborator, mentor, pelatih, pengarah dan teman belajar bagi Siswa. Karenanya Guru dapat memberikan pilihan dan tanggung jawab yang besar kepada siswa untuk mengalami peristiwa belajar. Dengan peran Guru sebagaimana dimaksud, maka peran Siswa pun mengalami perubahan, dari partisipan pasif menjadi partisipan aktif yang banyak menghasilkan dan berbagi (sharing) pengetahuan/keterampilan serta berpartisipasi sebanyak mungkin sebagaimana layaknya seorang ahli. Disisi lain Siswa juga dapat belajar secara individu, sebagaimana halnya juga kolaboratif dengan siswa lain.
Untuk mendukung proses integrasi TIK di dalam pembelajaran, maka Manajemen Sekolah, Guru dan Siswa harus memahami 9 (sembilan) prinsip integrasi TIK dalam pembelajaran yang terdiri atas prinsip-prinsip:
1.      Aktif: memungkinkan siswa dapat terlibat aktif oleh adanya proses belajar yang menarik dan bermakna.
2.      Konstruktif: memungkinkan siswa dapat menggabungkan ide-ide baru kedalam pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya untuk memahami makna atau keinginan tahuan dan keraguan yang selama ini ada dalam benaknya.
3.      Kolaboratif: memungkinkan siswa dalam suatu kelompok atau komunitas yang saling bekerjasama, berbagi ide, saran atau pengalaman, menasehati dan memberi masukan untuk sesama anggota kelompoknya.
4.      Antusiastik: memungkinkan siswa dapat secara aktif dan antusias berusaha untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
5.      Dialogis: memungkinkan proses belajar secara inherent merupakan suatu proses sosial dan dialogis dimana siswa memperoleh keuntungan dari proses komunikasi tersebut baik di dalam maupun luar sekolah.
6.      Kontekstual: memungkinkan situasi belajar diarahkan pada proses belajar yang bermakna (real-world) melalui pendekatan ”problem-based atau case-based learning
7.      Reflektif: memungkinkan siswa dapat menyadari apa yang telah ia pelajari serta merenungkan apa yang telah dipelajarinya sebagai bagian dari proses belajar itu sendiri. (Jonassen (1995), dikutip oleh Norton et al (2001)).
8.      Multisensory: memungkinkan pembelajaran dapat disampaikan untuk berbagai modalitas belajar (multisensory), baik audio, visual, maupun kinestetik (dePorter et al, 2000).
9.      High order thinking skills training: memungkinkan untuk melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi (seperti problem solving, pengambilan keputusan, dll.) serta secara tidak langsung juga meningkatkan ”ICT & media literacy” (Fryer, 2001).
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka bukti otentik terjadinya pembelajaran berbasis TIK dapat kita cermati dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun dan implementasinya yang dilaksanakan oleh setiap guru mata pelajaran di sekolah. RPP yang mengintegrasikan TIK di dalam pembelajaran dapat disusun melalui 2 (dua) pendekatan, yaitu pendekatan idealis dan pendekatan pragmatis. Pertama, Pendekatan Idealis dapat dimulai dengan menentukan topik, kemudian menentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai; dan menentukan aktifitas pembelajaran dengan memanfaatkan TIK (seperti modul, LKS, program audio, VCD/DVD, CD-ROM, bahan belajar on-line di internet, atau alat komunikasi sinkronous dan asinkronous lainnya) yang relevan untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Kedua, Pendekatan Pragmatis dapat diawali dengan mengidentifikasi TIK (seperti buku, modul, LKS, program audio, VCD/DVD, CD-ROM, bahan belajar on-line di internet, atau alat komunikasi sinkronous dan asinkronous lainnya) yang ada atau mungkin bisa dilakukan atau digunakan, kemudian memilih topik-topik apa yang bisa didukung oleh keberadaan TIK tersebut, dan diakhiri dengan merencanakan strategi pembelajaran yang relevan untuk mencapai kompetensi dasar dan indikator capaian hasil belajar dari topik pelajaran tersebut.
Adapun strategi yang dapat dipilih sesuai dengan kedua pendekatan tersebut adalah strategi: Resources-based learning (pembelajaran berbasis sumber daya), Case/problem-based learning (pembelajaran berbasis permasalahan/kasus sehari-hari), Simulation-based learning (pembelajaran berbasis simulasi), dan Colaborative-based learning (pembelajaran berbasis kolaborasi). Peran TVE & Jardiknas Sebagaimana kita ketahui bersama, tantangan terbesar negara kita dalam mencerdaskan bangsa adalah akses setiap masyarakat Indonesia ke sumber-sumber pengetahuan dan informasi pendidikan. Oleh karena itulah Depdiknas berupaya menjawab tantangan tersebut dengan inisiatif yang penuh inovasi melalui penyelenggaraan siaran TV Edukasi yang diresmikan pada tahun 2004 ini merupakan televisi yang mengkhususkan pada siaran pendidikan, termasuk program pembelajaran. Kemudian pada tahun 2006, Depdiknas menggelar Jardiknas (Jejaring Pendidikan Nasional) yang merupakan jaringan TIK nasional terbesar yang dimanfaatkan oleh Depdiknas untuk keperluan komunikasi data administrasi, konten pembelajaran, serta informasi dan kebijakan pendidikan. TVE yang kini telah memiliki saluran 2 untuk Guru ini memiliki pola siaran: Informasi yang berisikan materi: News, Pola siaran yang berisikan Kebijakan, Profil Guru, dan sebagainya; Tutorial (Pendidikan Formal) yang berisikan materi: pembelajaran berdasarkan kurikulum Program SD, SMP, SMA, SMK, PJJ S-1 PGSD konsorsium dan Program S1 PGSD Non Konsorsium; dan Pengayaan yang berisikan materi: pengkayaan dan materi yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi Guru. Sedangkan Jardiknas saat ini memiliki 1.072 node (simpul) Zona Kantor dan Perguruan Tinggi yang tersebar di 33 provinsi dan 456 kabupaten/kota. Jardiknas yang berpusat di NOC Pustekkom Ciputat Banten dan NOC Telkom Karet Jakarta ini difasilitasi bandwidth intranet, internet domestik dan internet internasional yang cukup memadai untuk mendukung e-administrasi dan e-pembelajaran di Indonesia. Dalam waktu dekat – dalam rangka memenuhi Inpres nomor 5 tahun 2008 – Depdiknas akan mengembangkan Jardiknas Zona Sekolah untuk 15.000 sekolah dan Jardiknas Zona Perorangan untuk 7.943 tenaga pengajar yang memiliki laptop. Media koneksi Jardiknas Zona Sekolah berorientasi static internet (fixed), sedangkan Jardiknas Zona Perorangan berorientasi kepada mobile internet. Konten Kita memahami bahwa infrastruktur semegah apapun tidak akan berarti sama sekali jika tiada konten bermanfaat di dalamnya. Setiap hari pengguna internet berselancar di dunia maya hanya untuk mencari konten yang benar-benar diinginkannya secara instan. Baik didorong oleh rasa keingintahuan terhadap suatu fenomena maupun sekedar membuktikan sebuah informasi. Demikian halnya konten pendidikan yang disajikan melalui TVE maupun disediakan melalui Jardiknas. Beberapa konten e-learning yang selama ini cukup mendukung pembelajaran berbasis TIK adalah: Bimbingan Belajar Online, Bank Soal Online, Uji Kompetensi Online, Smart School, Telekolaborasi, Digital Library, Research Network, dan Video Conference PJJ. Salah satu konten yang cukup menyita perhatian publik akhir-akhir ini adalah program buku murah yang dikemas di dalam aplikasi Buku Sekolah Elektronik (BS) yang dapat diakses melalui: bse.depdiknas.go.id. BSE merupakan langkah reformasi di bidang perbukuan dimana Depdiknas telah membeli Hak Cipta buku-buku teks pelajaran SD, SMP, SMA, dan SMK tersebut. Softcopy buku-buku teks pelajaran tersebut didistribusikan melalui web BSE agar guru atau masyarakat dapat mengakses, mengunduh, mencetak, mendistribusikan, atau menjualnya sesuai HET (Harga Eceran Tertinggi) dimana saja dan kapan saja. Selain BSE versi Online yang dapat diakses melalui internet, Depdiknas juga telah menyediakan dan mendistribusikan BSE versi Offline yang dikemas di dalam cakram padat DVD. Demikian strategi pengembangan pembelajaran berbasis TIK yang terus-menerus dikembangkan dan didukung oleh Depdiknas melalui sejumlah inisiatif dan inovasi di bidang teknologi pembelajaran, teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Kita dapat berharap suatu saat nanti TVE dan Jardiknas dapat menjadi Pusat Konten Pembelajaran yang dapat diakses dimana saja dan kapan saja melalui koneksi Kabel, Nirkabel & Satelit.

Penutup
Model pembelajaran yang dikembangkan yang diharapkan dapat meningkatkan penguasaan konsep, keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains siswa adalah TIK. Selain itu keberhasilan model pembelajaran TIK dapat diharapkan menjadi percontohan model-model pembelajaran sejenis, untuk topik-topik bahan kajian yang lain dalam berbagai bidang studi.
Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Daftar Pustaka
Budiana. (2003). Penggunaan Komputer Dalam Pembelajaran Remedial Matematika Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa. Tesis PPS UPI Bandung : tidak diterbitkan.
Carin, A.A. & Sund, R.B. (1980). Teaching Science through Discovery, Fourth Edition, Ohio : Charles E. Merril Publishing Co.
Coburn, P, et.al. (1985). Practical Guide to COMPUTER In EDUCATION, 2nd ed, California : Addison-Wesley Publ. Company, Inc.
Costa, A.L. dan Presseisen, B.Z. (1985). Glossary of thinking skills, in A.L. Costa (ed). Developing Minds : A Resource Book For Teaching Thinking, Alexandria : ASCD. 303-312.
Dahar, R.W. (1996). Teori-Teori Belajar. Jakarta : Erlangga.
Dirjen Dikdasmen. (2002). Pengembangan Pendidikan Dasar dan Menengah
Galib, M. (2001). Penerapan Model Konstruktif Pembelajaran Sains dan Teknologi dengan Pendekatan STM dan Strategi Pembelajaran Model di SD Kecil Bungin. Disertasi PPS UPI Bandung : tidak diterbitkan.
Herron, J.D. et al. (1977).” Evaluation of the Longeot test of cognitive development”. Journal of Research in Science Taeching, 18 (2). 123 –130
Joyce, et al. (1992). Models of Teaching, New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Lawson, A.E. (1979). Science Education Information Report, 1980 AETS Yearbook The Psychology of Teaching for Thinking and Creativity. Ohio : Clearinghouse.
Liliasari. (1999). Pengembangan Model Pembelajaran Komputer Berdasarkan Konstruktivisme Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi. Makalah Dibacakan Dalam Seminar Mutu Pendidikan dalam Rangka Dies Natalis 45 dan Lustrum IX IKIP Bandung, Pusat Studi Komputer Sains, IKIP Bandung.
Sund, R.B. dan Trobridge. (1973). Leislie W., Teaching Science By Inquiry In The Secondary School, Columbus : Charles E. Merill Publishing Company.
Tim Broad Based Education Depdiknas (2002). Kecakapan Hidup. Life Skill. Melalui Pendekatan Pendidikan Berbasis Luas. Surabaya : SIC.MBA

Selasa, 23 Agustus 2011

SISTEM PENDIDIKAN: PERGULATAN ANTARA KUALITAS DAN KETERSEDIAAN SDM


A.    Pendahuluan
Pendidik (guru dan dosen) merupakan salah satu di antara faktor pendidikan yang memiliki peranan strategis karena faktor pendidik menentukan terjadinya proses belajar mengajar. Di tangan guru  dan dosen yang cekatan dan energik, pendidikan yang kurang memadai dapat diatasi. Sebaliknya, di tangan pendidik yang kurang cakap, sarana dan fasilitas yang canggih tidak banyak memberi manfaat.
Berangkat dari asumsi tersebut, maka langkah pertama yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kualitas pendidikan adalah dengan memperbaiki kualitas tenaga pendidiknya terlebih dahulu. Dipersyaratkannya Program Diploma Empat (D.IV) atau Sarjana S.1 bagi guru, dan Magister (S.2), maupun Doktor (S.3) bagi dosen merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas pendidik yang dimaksud. Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik tersebut diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.
Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Demikian pula dosen, ia wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik dosen diperoleh melalui pendidikan tinggi program pasca sarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahlian. Dosen harus memiliki kualifikasi akademik minimum lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana, dan lulusan program doktor untuk program pasca sarjana.
Salah satu ciri kemajuan tersebut adalah adanya suatu pekerjaan yang ditangani secara profesional sehingga pekerjaan itu dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan serius oleh orang yang memiliki profesi di bidangnya. Pekerjaan pendidik merupakan pekerjaan profesi karena harus dikerjakan sesuai dengan tuntutan profesionalitas.
Dalam bidang keguruan ada tiga persyaratan pokok seseorang itu menjadi tenaga profesionalis. Pertama, memiliki pengetahuan di bidang yang diajarkannya sesuai dengan kualifikasi dia mengajar. Kedua, memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang keguruan. Ketiga, memiliki moral akademik.

B.     Permasalahan
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana kualitas SDM yang diharapkan dalam pendidikan?
2.      Bagaimana kenyataan SDM pendidikan di Indonesia?

C.    Pembahasan Masalah
1.      Profesionalisme Tenaga Pendidik
Profesionalisme berarti mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. Menurut Burhanudin Salam, profesionalisme adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok yang menghasilkan nafkah hidup dan menghendaki suatu keahlian dengan ciriciri sebagai berikut:
a.       Adanya pengetahuan khusus;
b.      Adanya kaidah atau standar moral yang tinggi;
c.       Mengabdi kepada kepentingan masyarakat;
d.      Ada izin khusus untuk melaksanakan suatu profesi; dan
e.       Biasanya menjadi anggota dari suatu organisasi profesi.
DR. Ahmad Tafsir mendefinisikan “profesionalisme” sebagai paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang profesional. Orang yang profesional ialah orang yang memiliki profesi. Menurut Muchtar Luthfi seseorang disebut memiliki profesi bila ia memenuhi delapan kriteria sebagai berikut; (1) profesi harus mengandung keahlian, artinya suatu profesi itu mesti ditandai oleh suatu keahlian yang khusus untuk profesi itu. Keahlian itu diperoleh dengan cara mempelajarinya secara khusus; (2) profesi dipilih karena panggilan hidup dan dijalani sepenuh waktu. Profesi itu dipilih karena dirasakan sebagai kewajiban, sepenuh waktu maksudnya bukan part-time; (3) profesi memiliki teori-teori yang baku secara universal, artinya profesi itu dijalani menurut aturan yang jelas, dikenal umum, dan teorinya terbuka. Secara universal pegangan itu diakui; (4) profesi adalah untuk masyarakat, bukan untuk diri sendiri; (5) profesi harus dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif. Kecakapan dan kompetensi itu diperlukan untuk meyakinkan peran profesi itu terhadap kliennya; (6) pemegang profesi memiliki otonomi dalam melaksanakan tugas profesinya. Otonomi ini hanya dapat diuji atau dinilai oleh rekan-rekannya seprofesi; (7) profesi mempunyai kode etik, yang disebut dengan kode etik profesi, dan (8) profesi harus mempunyai klien yang jelas, yaitu orang yang membutuhkan layanan.
Sementara itu, Finn menambahkan dua hal, yaitu pertama, bahwa suatu profesi memerlukan organisasi profesi yang kuat, gunanya untuk memperkuat dan mempertajam profesi itu. Kedua, suatu profesi harus mengenali dengan jelas hubungannya dengan profesi lain. Pengenalan ini terutama diperlukan karena ada kalanya suatu garapan melibatkan lebih dari satu profesi.
Haidar Putra Daulay, menyebutkan ciri profesi itu adalah (1) memiliki keahlian di bidang tersebut, (2) menggunakan waktunya untuk bekerja dalam bidang tersebut, (3) hidup dari pekerjaan tersebut, dan (4) pekerjaan itu bukan sebagai hobi. Selain pendapat tersebut, masih ada lagi pendapat lain yang menguraikan tentang ciri keprofesian.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidik termasuk kategori tenaga profesi karena tugas pendidik adalah tugas profesi, seperti profesi dokter, advokat, notaris,hakim, dan lain-lain. Keprofesian pendidik dapat dilihat dari ilmu, kemampuan teknis, serta komitmen moral yang tinggi terhadap tugasnya. Dari aspek Ilmu, guru-dosen tersebut memiliki ilmu pengetahuan dalam bidang yang diajarkannya sehingga memungkinkan dia untuk mentransfer ilmu tersebut kepada para peserta didiknya. Dari aspek kemampuan teknis, pendidik memiliki berbagai keterampilan mengajar, misalnya persiapan mengajar, proses pembelajaran, sampai pada evaluasi. Komitmen moral, berkenaan dengan sikap mental seorang pendidik yang meliputi mencintai pekerjaannya, disiplin, objektif, dan lain-lain.
2.      Upaya Pembentukan Pendidik yang Profesional
Menurut D.N. Medley sebagaimana dikutip Noeng Muhadjir, ada empat fase asumsi yang melandasi keberhasilan guru dan pendidikan guru. Pertama, penelitian terfokus kepada sifat-sifat kepribadian guru. Kepribadian guru yang dapat menjadi tauladan menjamin keberhasilannya mendidik peserta didik. Kedua, keberhasilan guru dalam mengajar adalah metode mengajar. Metode penyampaian yang baik mendukung keberhasilan pendidikan. Ketiga, mengutamakan iklim interaksi di kelas. Interaksi guru di dalam kelaslah yang menentukan. Iklim di dalam kelaslah yang paling dominan dalam keberhasilan pendidikan. Keempat, memusatkan perhatian kepada penampilan (performance) yang menggambarkan ia memiliki kemampuan (competency). Calon pendidik dievaluasi kemampuan mengajarnya berdasarkan penampilannya meliputi penguasaan materi, strategi penyampaian, penguasaan alternatif media yang tepat, dan lainnya.
Sebuah pendapat menyatakan bahwa kemampuan guru dapat dilihat dari kemampuan mengajarnya. Asumsi ini didasarkan kepada, “guru yang baik adalah guru yang mampu mengajar dengan baik”. Pelatihan maupun workshop tenaga pendidik di berbagai jenjang pendidikan telah menjadi salah satu kebijakan untuk meningkatkan profesionalisme pendidik. Peningkatan profesionalisme pendidik secara kontinu merupakan prasyarat penting bagi proses pemerataan dan penegakan kualitas pendidikan nasional yang selalu bersifat dinamis. Selama ini pengambilan kebijakan berasumsi bahwa pola peningkatan profesionalisme pendidik melalui berbagai bentuk pelatihan, workshop dan semacamnya memiliki nurturant effect yang positif bagi praksis pendidikan, baik secara mikro maupun makro.
Peningkatan profesionalisme pendidik masa depan perlu memanfaatkan pendekatan yang bersifat kolaboratif atau yang dinamakan Collaborative Action Reseach (CAR). Jenis penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan profesionalisme pendidik secara langsung sesuai dengan konteks kultural sekolah-kampus tempat ia mengajar. Hal ini dapat terjadi karena dalam CAR, guru diajak merumuskan masalah dan melakukan langkah-langkah solusinya, kemudian diajak melakukan refleksi terhadap refleksi yang disepakati, dan akhirnya diajak melakukan pengembangan proses pembelajaran sesuai dengan temuan CAR yang mereka lakukan bersama pihak kedua. Model CAR sebagai alternatif pelatihan tenaga pendidik memiliki legitimasi yang kuat, baik dilihat dari aspek akademik maupun setting cultural lembaga pendidikan. Model ini dapat digunakan untuk meningkatkan profesionalisme pendidik secara lebih bermakna. Bahkan, Ject Whitehead, Jean McNiff, dan Sharon Nodhie Oja meyakini bahwa model CAR dapat memberikan jembatan yang efektif terhadap kesenjangan antara tuntutan teori dan tutntutan praktisi profesi. Dalam model CAR ini pendidik dapat diajak oleh kolaboratornya untuk melihat berbagai problem pembelajaran yang dijumpai. Kalau problem itu dapat dipecahkan melalui penelitian kolaboratif, berarti pendidik tersebut secara sadar dapat melihat permasalahan yang sebenarnya dan juga dapat memecahkan permasalahan tersebut bersama kolaboratornya.
3.      Tantangan Profesi Pendidik Masa Depan
Pada tahun 1994 pemerintah Indonesia pernah menyelenggarakan peringatan Hari Guru Internasional (International Teacher Day) yang digabung dengan peringatan Hari Guru Nasional di Istana Negara. Peringatan itu dapat dijadikan indikator betapa pentingnya peran pendidik dalam abad global dan era informasi saat ini. Hal ini berarti komunitas dunia secara global mengakui kontribusi pendidik terhadap pembentukan sikap, perilaku, serta ketercapaian transfer of learning kepada para peserta didik, baik secara individu maupun kelompok.
Kita wajib menghargai jasa para pendidik. Tidak terbayangkan akan seperti apa masa depan generasi muda bangsa jika tanpa sentuhan profesional pendidik ketika mereka berada di sekolah/kampus. Tidak cukup kita menghargai para guru hanya dengan berbagai nyanyian dan gelar kepahlawanan yang cenderung mengkondisikan mereka ke alam pikir “eufemisme”. Sudah saatnya apabila semua pihak terutama pemerintah dan negara menghargai dan mengakui eksistensi pendidik secara profesional dengan segala konsekuensi peningkatan kesejahteraannya.
Pendidik memang tumpuan harapan bagi banyak orang, baik rakyat jelata maupun petinggi negara. Namun demikian, sampai saat ini tidak semua anak bangsa ini dengan suka rela bersedia bercita-cita menjadi pendidik sebagai pilihan utama profesinya. Pendidik memang sering dijadikan idola oleh peserta didiknya, tetapi profesi guru tidak menjadikan semua orangtua berminat mengajak anak-anak mereka untuk mewarisi karier profesi pendidiknya. Oleh karena di jaman yang penuh dengan glamornya harta benda seperti saat ini, memang terbukti bahwa profesi pendidik tidak memiliki daya tarik bagi semua anak bangsa ini yang mempunyai kemampuan akademik prima. Oleh karena itu, perlu ada upaya melakukan professional empowering terhadap eksistensi pendidik, baik pada konteks kehidupan sosial ekonomi maupun akademik mereka. Dengan cara ini pendidik akan menjadi idola dan sekaligus pilihan profesi bagi banyak orang.
Para pengambil kebijakan yang berpengaruh pada kehidupan profesional pendidik perlu segera mengambil tindakan nyata untuk melakukan professional empowering terhadap eksistensi tenaga pendidik. Dengan demikian, mereka dapat benar-benar berperan secara optimal bagi proses pembelajaran peserta didik di sektor pendidikan sekolah maupun luar sekolah.
Pendidik masa kini dan masa mendatang selalu menghadapi tantangan yang amat berat. Tantangannya demikian pelik sehingga dapat membuat pendidik betul-betul harus bekerja keras jika tidak ingin ketinggalan jaman dan kehilangan wibawa di tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Pendidik masa mendatang harus dinamis dan kreatif dalam mencari dan memanfaatkan sumbersumber informasi. Oleh karena dalam era globalisasi, arus informasi dapat muncul dari berbagai media. Akibatnya, pendidik di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang, dan berinteraksi dengan manusia di alam jagat raya ini. Di masa depan, pendidik bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya. Dampak akademiknya adalah ilmu dan pengetahuan yang diperoleh pendidik cepat usang. Dampak pedagogiknya akan berupa jalan yang tersedia bagi peserta didik untuk mencari kebenaran yang bersumber pada media informasi selain pendidik semakin terbuka. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, maka ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan, baik dari peserta didik, orangtua, maupun masyarakat.
Untuk menghadapi tantangan profesionalisme tersebut, pendidik perlu berpikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, pendidik harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara kontinu. Untuk melakukan hal ini, guru-dosen perlu memanfaatkan organisasi atau forum profesi secara efektif. Organisasi profesi pendidik sudah saatnya dimanfaatkan untuk membentuk berbagai kegiatan yang berorientasi pada proses pembaruan sain dan teknologi.
Jika pendidik hanya berjuang sendiri secara individual, ia akan tertinggal semakin jauh dari spektrum perkembangan sains dan teknologi. Sebaliknya, jika pendidik dapat bekerjasama dengan sesama mereka dalam wadah dan organisasi profesi yang fungsional, maka mereka akan dapat melakukan peningkatan profesionalitas secara sinergis. Cara semacam ini jauh lebih efektif untuk menatap tantangan profesi guru-dosen di masa depan jika dibandingkan dengan bila pendidik bertindak sebagai single fighter dalam memecahkan persoalan profesional yang dihadapinya. Saling ketergantungan profesional merupakan ciri penting bagi kehidupan abad informasi. Oleh karena itu, pendidik harus bersatu padu untuk menghadapi tantangan profesi di masa mendatang agar proses sinergi dapat terjadi untuk menegakkan citra profesi diri.
4.      Perlindungan Profesi Pendidik
Pemotongan gaji pendidk yang sering terjadi mencerminkan sebuah realitas kehidupan pendidik yang kurang terlindungi. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya bargaining position pendidik dilihat dari sistem kekuasaan di lingkungan kerjanya. Pendidik tidak lagi memiliki otonomi, baik secara individual maupun kelompok. Keadaan semacam ini dalam jangka panjang akan merugikan kehidupan bangsa Indonesia, mengingat pendidik memiliki peranan yang sangat penting dalam proses peningkatan sumber daya manusia.
Jika pendidik kehilangan otonominya di mata sistem kekuasaan, cepat atau lambat mereka juga akan kehilangan kepercayaan diri. Akibatnya, mereka tidak otonom dalam mengembangkan berbagai strategi belajar mengajar. Jika hal ini terjadi maka peningkatan pendidikan kita secara nasional akan menanggung risiko hilangnya kreativitas pendidik akibat hilangnya otonomi mereka sebagai warga masyarakat. Semakin lama pendidik tidak mampu lagi menjadi sumber informasi bagi lingkungan sekolah, kampus, dan masyarakat.
Permasalahan tersebut dapat terjadi karena pendidik dari waktu ke waktu selalu berada pada pihak yang lemah dilihat dari aspek sosial, ekonomi, maupun politik. Oleh karena itu, mereka lebih menjadi objek sistem kekuasaan. Kondisi semacam ini mengakibatkan pendidik berada pada sistem kehidupan serba marginal. Kondisi mereka yang marginal pada akhirnya membuat pendidik tidak berdaya untuk memberdayakan peserta didik dalam konteks belajar mengajar. Mengingat lemahnya kehidupan ekonomi pendidik saat ini, seharusnya sistem kekuasaan selalu membantu guru-dosen untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Dengan dalih apapun memang tidak pantas lagi gaji pendidik yang sudah amat rendah,dibandingkan dengan gaji para pekerja di sektor swasta, dipotong untuk berbagai macam alasan. Sistem kekuasaan mestinya memikirkan cara-cara untuk meningkatkan kesejahteraan pendidik dengan mobilisasi peran serta masyarakat. Jika sistem kekuasaan gagal membantu pendidik dalam meningkatkan kualitas hidupnya, maka cepat atau lambat praksis pendidikan akan menjumpai kebangkrutannya. Jika sistem kekuasaan kita saat ini tidak mampu meningkatkan kualitas hidup pendidik, maka praksis pendidikan akan gagal mengemban misinya untuk memandirikan siswamahasiswa di berbagai tingkat. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah memberikan perlindungan hukum yang pasti terhadap pendidik. Tanpa perlindungan hukum terhadap pendidik, masyarakat akan semakin menjauhi dan tidak akan menghargai profesi itu. Jika itu terjadi maka citra guru-dosen akan merosot tajam. Citra pendidik yang merosot berpengaruh negatif terhadap proses pembelajaran di sekolah dan kampus.
Dalam peradaban global seperti saat ini, masyarakat dan sisitem kekuasaan yang ada harus mampu mengkondisikan dan menciptakan pendidik yang profesional. Tujuannya agar para pendidik dapat menampilkan kerja secara profesional maka perlu ada perlindungan profesi secara memadai. Dalam sistem perlindungan itu perlu adanya kepastian hukum terhadap siapa saja yang mengganggu otonomi pendidik sebagai tenaga profesional dalam bidang pendidikan.
Oleh karena itu, sistem kekuasaan harus mampu melindungi pendidik dari pikiran-pikiran sesaat yang memiliki dampak pada marginalisasi kehidupan guru-dosen dilihat dari aspek sosial, ekonomi, maupun politik. Tidak saja sistem kekuasaan yang perlu memberikan perlindungan pada profesi pendidik, tetapi masyarakat secara luas pun perlu ikut serta melindungi profesi pendidik.
Dalam kaitannya dengan perlindungan profesi pendidik yang perlu dilakukan oleh masyarakat, Wolmer & Mills serta Amestubun mengajukan beberapa persyaratan terhadap profesionalisme pekerjaan bagi pendidik. Syarat-syarat itu meliputi: pertama, mendapatkan dukungan masysrakat; kedua, mendapatkan pengesahan dari perlindungan hukum; ketiga, memiliki prasyarat kerja yang sehat; dan keempat, mendapat jaminan hidup layak.16 Dari empat persyaratan itu, sudahkah pendidik mendapatkan semuanya? Jika mau jujur, jawabannya adalah “belum”. Oleh karena itu, upaya perlindungan bagi profesi pendidik harus diupayakan oleh masyarakat maupun pemerintah.
5.      Pendidik: antara Profesi dan Prestasi
Profesionalisme pendidik merupakan kunci pokok kelancaran dan kesuksesan proses pembelajaran di lembaga pendidikan formal. Oleh karena hanya pendidik profesional yang bisa menciptakan situasi aktif peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Pendidik yang profesional diyakini mampu mengantarkan peserta didik dalam pembelajaran untuk menemukan, mengelola dan memadukan perolehannya, dan memecahkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan, sikap, dan nilai maupun keterampilan hidupnya. Pendidik yang profesional juga diyakini mampu memungkinkan peserta didik berpikir, bersikap, dan bertindak kreatif.
Telaah atas eksistensi pendidik dalam literatur kependidikan menyatakan bahwa pendidik harus memiliki karakteristik profesional. Pertama, komitmen terhadap profesionalitas yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja (produk), dan sikap continousimprovement (improvisasi berkelanjutan). Kedua, menguasai dan mampu mengembangkan serta menjelaskan fungsi ilmu dalam kehidupan, mampu menjelaskan dimensi teoretis dan praktisnya. Dengan kata lain, mampu melakukan transformasi, internalisasi, dan implementasi ilmu kepada peserta didik. Ketiga, mendidik dan menyiapkan peserta didik yang memiliki kemampuan berkreasi, mengatur dan memelihara hasil kreasinya supaya tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan lingkungannya. Keempat, mampu menjadikan dirinya sebagi model dan pusat anutan (centre of selfidentification), teladan, dan konsultan bagi peserta didiknya. Kelima, mampu bertanggung jawab dalam membangun peradaban di masa depan (civilization of the future).
Cukup banyak sifat dan ciri-ciri pendidik yang profesional, Robert W. Richey mengemukakan delapan ciri-ciri pendidik yang profesional. Pertama, lebih mementingkan pelayanan yang ideal dibandingkan dengan kepentingan pribadi. Kedua, sebagai seorang pekerja profesional, secara relatif memerlukan waktu yang panjang untuk mempelajari konsep-konsep, seperti prinsip-prinsip pengetahuan khusus yang mendukung keahliannya. Ketiga, memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut, serta mampu mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan.
Keempat, memiliki kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap, dan cara kerja. Kelima, membutuhkan kegiatan intelektual yang tinggi. Keenam, adanya organisasi yang dapat meningkatkan standar pelayanan, disiplin diri dalam profesi, dan kesejahteraan anggotanya. Ketujuh, memberikan kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi, dan kemandirian. Kedelapan, memandang profesi sebagai suatu karier hidup dan menjadikan diri sebagai profesional yang permanen.
H.M. Arifin menegaskan bahwa pendidik yang profesional adalah pendidik yang mampu memanifestasikan seperangkat fungsi dan tugas keguruan dalam lapangan pendidikan berdasarkan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan khusus di bidang pekerjaan yang mampu mengembangkan kekaryaannya itu secara ilmiah. Di samping itu, mampu menekuni profesinya selama hidupnya, yaitu pendidik yang memiliki kompetensi keguruan berkat pendidikan dan latihan di lembaga pendidikan guru dalam jangka waktu tertentu. Tidak hanya itu, pendidik yang profesional adalah pendidik yang memiliki kecakapan dalam manajemen kelas dalam rangka proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
Jika profesionalisme keguruan itu dikaitkan dengan akuntabilitas publik, profesi pendidik bukanlah hal yang ringan, melainkan sesuatu yang mengharuskan pelayanan ditingkat kualifikasi profesional yang lebih memadai. Secara sederhana kualifikasi profesional kependidikan pendidik bisa dijelaskan sebagi berikut. Pertama, kapabilitas personal (person capability), artinya pendidik diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan, serta sikap yang lebih mantap dan memadai sehingga mampu mengelola proses pembelajaran secara efektif. Kedua, pendidik sebagi inovator yang berarti memiliki komitmen terhadap upaya perubahan dan reformasi. Pendidik diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan keterampilan, serta sikap yang tepat terhadap pembaruan dan sekaligus penyebar ide pembaruan yang efektif. Ketiga, pendidik sebagi developer yang berarti harus memiliki visi keguruan yang mantap dan luas perspektifnya. Pendidik harus mampu dan mau melihat jauh ke depan (the future thinking) dalam menjawab tantangan-tantangan jaman yang dihadapi oleh sektor pendidikan sebagai sebuah sistem.
Selain persyaratan profesional di atas, pendidik juga disarankan memiliki kepekaan emosional sehingga ia merasa senang dalam menjalankan profesinya. pendidik dalam bekerja didorong oleh hati nuraninya untuk mendidik peserta didik. Panggilan hati nurani guru merupakan dasar kewajiban yang harus melekat pada pendidik untuk melakukan kegiatan pembelajaran dan pendidikan. Oleh karena itu, eksistensi yang sering dilekatkan pada pendidik adalah pembimbing, pengasuh, bahkan guru spiritual.
Profesionalisme pendidik dalam konteks pembelajaran lebih pada kemampuan pendidik dalam mendesain strategi pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas. Strategi pembelajaran merupakan elemen penting yang harus dikuasai oleh pendidik yang profesional, baik mengenai definisi, klasifikasi, metode, dan teknik pembelajaran.
Berkaitan dengan strategi pembelajaran, ada empat hal yang harus dijalankan oleh pendidik yang profesional. Pertama, mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku serta kepribadian peserta didik yang diharapkan. Kedua, memilih sistem pendekatan pembelajaran berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat. Ketiga, memilih dan menetapkan metode dan teknik pembelajaran yang dianggap paling tepat dan efektif dalam pencapaian tujuan pembelajaran.
Pemilihan metode dan teknik pembelajaran ini berkaitan dengan pemilihan media pembelajaran dan pengelolaan kelas. Keempat, menerapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan untuk dapat menjadi pedoman dalam melakukan evaluasi.
Profesionalisme pendidik yang berkaitan dengan pendekatan pembelajaran dapat diklasifikasikan ke dalam tiga hal penting. Pertama, model pembelajaran yang meliputi pendidik menyampaikan dan peserta didik menerima materi pelajaran (expository teaching-receptive learning), pembelajaran aktif yang berpusat pada peserta didik dan pendidik sebagai fasilitator (active learning), situasi interaktif antara pendidik dengan peserta didik (interactive learning), dan peserta didik dimotivasi untuk mencari, menemukan, dan memecahkan masalah sendiri (inquiry-discovery-problem solving). Kedua, pengelolaan kelas yang meliputi pendekatan klasikal, kelompok, dan individual. Ketiga, sasaran pembelajaran yang meliputi pendekatan pengalaman, pembiasaan, emosional, rasional, dan fungsional.
Apapun alasan yang diajukan dalam konteks profesionalisme pendidik, kiranya etos kerja keguruan dan mutu produk kerja perlu ditingkatkan. Keberhasilan dan kegagalan pendidik dalam meningkatkan mutu hasil pendidikan, minimal bisa dilihat melalui profil lulusannya. Pada tingkat pendidikan SMA dan Aliyah, seberapa banyak lulusannya masuk di PTN. Pada tingkat sekolah kejuruan/keguruan, seberapa banyak lulusannya diserap ke dalam lapangan kerja. Pada tingkat perguruan tinggi, seberapa banyak lulusannya diterima memasuki sektor profesional publik dan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Jadi, prestasi peserta didik memasuki dunia kerja profesional merupakan barometer keberhasilan kinerja profesional keguruan dan kependidikan di sekolah-kampus.
Berbagai media melansir dalam setiap kesempatan dan hasil penelitian serta hasil penilaian terhadap portofolio guru membuktikan bahwa pembinaan dan pengembangan kompetensi guru SMA Negeri belum berjalan dengan baik.
Pemberitaan dalam berbagai media masa dan gambaran dari hasil penelitian, yang didukung oleh hasil penilaian portofolio guru, menunjukkan bahwa program dan kegiatan pembinaan serta pengembangan kompetensi guru SMA khususnya, komponen kompetensi profesional baik di tingkat kota/ kabupaten maupun secara nasional, masih sangat minim.
Media Indonesia, 1/10/2005 mencatat bahwa guru telah gagal memenuhi indikator pengembangan komponen kompetensi profesional sehingga terganjal kenaikan pangkatnya. Dari pelaksanaan penilaian portofolio guru tahun 2007, salah seorang asesor wilayah Sumbar menemukan bukti yang mempriharinkan itu. Dari 64 dokumen yang dinilai, ternyata, sebanyak 77,4% guru tidak memenuhi indikator sama sekali. Artinya, guru:
a.       jarang melakukan penelitian tindakan kelas (PTK).
b.      Jarang menulis karya tulis lmiah (KTI) hasil penelitian, KTI konseptual, KTI populer, dan KTI untuk seminar.
c.       Jarang menulis buku dan modul/Diktat.
d.      Jarang menyiapkan alat pembelajaran.
e.       Jarang menghasilkan teknologi tepat guna atau TTG/karya seni.
f.       Jarang mengikuti pengembangan kurikulum.
Harian Kompas, 10/10/2007 memberitakan bahwa, secara nasional, hanya sebanyak 8.000 guru yang lulus sertifikasi dari 17.000 dokumen yang dinilai tahun 2007, sedangkan kuota nasional adalah sebanyak 20.000 (3.000 dokumen didiskualifikasi).
Menurut panduan Penelitian Dikti Edisi VII, sebagai penelitian Hibah Bersaing dengan biaya Proyek Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Dikti Sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor 230/ SP2H/DP2M/III/2007, tgl. 29 Maret 2007, membuktikan hal yang senada. Sasaran penelitian adalah guru SMA N Sumbar yang tersebar pada 7 kota dan 12 kabupaten. Lamanya penelitian adalah 3 tahun mulai tahun 2007. Pada tahun pertama (2007), sasasaran penelitian yang disetujui adalah wakil 13 guru bidang studi di 16 SMA N KotaPadang. Total sampel penelitian secara acak bertujuan (purposive sampling) untuk tahun pertama adalah sebanyak 182 orang. Data dijaring, setelah mendapat izin dari Diknas Provinsi Sumbar dan Diknas Kota Padang, melalui kuesioner dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 114 (63%) kuesioner yang kembali, sebanyak 68.75% guru hanya mampu membuat alat pembelajaran, 17.36% yang dapat megikuti kegiatan pengembangan kurikulum, 3.47% saja yang membuat diktat, hanya 2.8% melakukan PTK, 1.4% menulis KTI berdasarkan laporan penelitian, KTI konseptual, KTI populer, karya seni, dan sisanya 0.69% guru yang mampu menulis KTI untuk seminar, menulis buku, dan menghasilkan TTG.

D.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Salah satu komponen pokok dari pendidikan adalah pendidik. Keberhasilan pengajaran dan peningkatan kualitas pendidikan banyak ditentukan oleh pendidik. Karena itulah perhatian tentang pendidik ini harus diutamakan bila ingin meningkatkan hasil pendidikan nasional.
2.      Untuk meningkatkan mutu pendidikan harus berawal dari peningkatan mutu pendidiknya, dedikasi, serta kencintaan kepada profesinya.
3.      Untuk menciptakan tenaga profesional di bidang keguruan pemerintah harus menempuh berbagai macam upaya.
4.      Pendidik adalah suatu jabatan profesional yang harus memenuhi kriteria profesional, yang meliputi syarat-syarat fisik, mental/kepribadian, keilmuan/pengetahuan, dan keterampilan. Kompetensi profesional pendidik selain bersumber dari bakat seseorang, juga pendidikan yang diselenggarakan pada pendidikan guru memegang peranan yang penting.
5.      Dari sebuah penelitian menemukan sebanyak 77,4% guru tidak memenuhi indikator sama sekali. Artinya, guru:
a.       Jarang melakukan penelitian tindakan kelas (PTK).
b.      Jarang menulis karya tulis lmiah (KTI) hasil penelitian, KTI konseptual, KTI populer, dan KTI untuk seminar.
c.       Jarang menulis buku dan modul/Diktat.
d.      Jarang menyiapkan alat pembelajaran.
e.       Jarang menghasilkan teknologi tepat guna atau TTG/karya seni.
f.       Jarang mengikuti pengembangan kurikulum.
6.      Penilitian guru SMA N Sumbar yang tersebar pada tujuh kota dan 12 kabupaten selama tiga tahun mulai tahun 2007. Pada tahun pertama (2007), sasasaran penelitian yang disetujui adalah wakil 13 guru bidang studi di 16 SMA N Kota Padang. Total sampel penelitian secara acak bertujuan (purposive sampling) untuk tahun pertama adalah sebanyak 182 orang. Data dijaring, setelah mendapat izin dari Diknas Provinsi Sumbar dan Diknas Kota Padang, melalui kuesioner dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 114 (63%) kuesioner yang kembali, sebanyak 68.75% guru hanya mampu membuat alat pembelajaran, 17.36% yang dapat megikuti kegiatan pengembangan kurikulum, 3.47% saja yang membuat diktat, hanya 2.8% melakukan PTK, 1.4% menulis KTI berdasarkan laporan penelitian, KTI konseptual, KTI populer, karya seni, dan sisanya 0.69% guru yang mampu menulis KTI untuk seminar, menulis buku, dan menghasilkan TTG.


Daftar Pustaka

1.      Dr. H. Welya Roza, MPd. 13 Agusutus 2008: Kurangnya Pembinaan Terhadap Guru SMA. http://www.bung-hatta.info/tulisan_244.ubh
4.      Hamalik, Oemar. 2004. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: Bumi Aksara.
5.      Muhaimin. 2002. “Reorientasi Pengembangan Guru”, dalam Makalah Pidato Ilmiah Wisuda Sarjana S1 & D2 STAIN Malang, 27 April 2002.
6.      Salam, Burhanudin. 2000. Etika Individual. Jakarta: Rineka Cipta.
7.      Suyanto & Djihad Hisyam. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Melinium III. Yogyakarta: Adi Cita.
8.      Tafsir, Ahmad. 2004. Ilmu Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya.
9.      Tholkhah, Imam & Ahmad Barizi. 2004. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
10.  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
11.  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS.