SELAMAT DATANG

SELAMAT BERJUMPA DENGAN SUSANTRONIKA
SHARING MEMPERLUAS WAWASAN DAN PENGETAHUAN

Selasa, 23 Agustus 2011

SISTEM PENDIDIKAN: PERGULATAN ANTARA KUALITAS DAN KETERSEDIAAN SDM


A.    Pendahuluan
Pendidik (guru dan dosen) merupakan salah satu di antara faktor pendidikan yang memiliki peranan strategis karena faktor pendidik menentukan terjadinya proses belajar mengajar. Di tangan guru  dan dosen yang cekatan dan energik, pendidikan yang kurang memadai dapat diatasi. Sebaliknya, di tangan pendidik yang kurang cakap, sarana dan fasilitas yang canggih tidak banyak memberi manfaat.
Berangkat dari asumsi tersebut, maka langkah pertama yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kualitas pendidikan adalah dengan memperbaiki kualitas tenaga pendidiknya terlebih dahulu. Dipersyaratkannya Program Diploma Empat (D.IV) atau Sarjana S.1 bagi guru, dan Magister (S.2), maupun Doktor (S.3) bagi dosen merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas pendidik yang dimaksud. Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik tersebut diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.
Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Demikian pula dosen, ia wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik dosen diperoleh melalui pendidikan tinggi program pasca sarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahlian. Dosen harus memiliki kualifikasi akademik minimum lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana, dan lulusan program doktor untuk program pasca sarjana.
Salah satu ciri kemajuan tersebut adalah adanya suatu pekerjaan yang ditangani secara profesional sehingga pekerjaan itu dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan serius oleh orang yang memiliki profesi di bidangnya. Pekerjaan pendidik merupakan pekerjaan profesi karena harus dikerjakan sesuai dengan tuntutan profesionalitas.
Dalam bidang keguruan ada tiga persyaratan pokok seseorang itu menjadi tenaga profesionalis. Pertama, memiliki pengetahuan di bidang yang diajarkannya sesuai dengan kualifikasi dia mengajar. Kedua, memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang keguruan. Ketiga, memiliki moral akademik.

B.     Permasalahan
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana kualitas SDM yang diharapkan dalam pendidikan?
2.      Bagaimana kenyataan SDM pendidikan di Indonesia?

C.    Pembahasan Masalah
1.      Profesionalisme Tenaga Pendidik
Profesionalisme berarti mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. Menurut Burhanudin Salam, profesionalisme adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok yang menghasilkan nafkah hidup dan menghendaki suatu keahlian dengan ciriciri sebagai berikut:
a.       Adanya pengetahuan khusus;
b.      Adanya kaidah atau standar moral yang tinggi;
c.       Mengabdi kepada kepentingan masyarakat;
d.      Ada izin khusus untuk melaksanakan suatu profesi; dan
e.       Biasanya menjadi anggota dari suatu organisasi profesi.
DR. Ahmad Tafsir mendefinisikan “profesionalisme” sebagai paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang profesional. Orang yang profesional ialah orang yang memiliki profesi. Menurut Muchtar Luthfi seseorang disebut memiliki profesi bila ia memenuhi delapan kriteria sebagai berikut; (1) profesi harus mengandung keahlian, artinya suatu profesi itu mesti ditandai oleh suatu keahlian yang khusus untuk profesi itu. Keahlian itu diperoleh dengan cara mempelajarinya secara khusus; (2) profesi dipilih karena panggilan hidup dan dijalani sepenuh waktu. Profesi itu dipilih karena dirasakan sebagai kewajiban, sepenuh waktu maksudnya bukan part-time; (3) profesi memiliki teori-teori yang baku secara universal, artinya profesi itu dijalani menurut aturan yang jelas, dikenal umum, dan teorinya terbuka. Secara universal pegangan itu diakui; (4) profesi adalah untuk masyarakat, bukan untuk diri sendiri; (5) profesi harus dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif. Kecakapan dan kompetensi itu diperlukan untuk meyakinkan peran profesi itu terhadap kliennya; (6) pemegang profesi memiliki otonomi dalam melaksanakan tugas profesinya. Otonomi ini hanya dapat diuji atau dinilai oleh rekan-rekannya seprofesi; (7) profesi mempunyai kode etik, yang disebut dengan kode etik profesi, dan (8) profesi harus mempunyai klien yang jelas, yaitu orang yang membutuhkan layanan.
Sementara itu, Finn menambahkan dua hal, yaitu pertama, bahwa suatu profesi memerlukan organisasi profesi yang kuat, gunanya untuk memperkuat dan mempertajam profesi itu. Kedua, suatu profesi harus mengenali dengan jelas hubungannya dengan profesi lain. Pengenalan ini terutama diperlukan karena ada kalanya suatu garapan melibatkan lebih dari satu profesi.
Haidar Putra Daulay, menyebutkan ciri profesi itu adalah (1) memiliki keahlian di bidang tersebut, (2) menggunakan waktunya untuk bekerja dalam bidang tersebut, (3) hidup dari pekerjaan tersebut, dan (4) pekerjaan itu bukan sebagai hobi. Selain pendapat tersebut, masih ada lagi pendapat lain yang menguraikan tentang ciri keprofesian.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidik termasuk kategori tenaga profesi karena tugas pendidik adalah tugas profesi, seperti profesi dokter, advokat, notaris,hakim, dan lain-lain. Keprofesian pendidik dapat dilihat dari ilmu, kemampuan teknis, serta komitmen moral yang tinggi terhadap tugasnya. Dari aspek Ilmu, guru-dosen tersebut memiliki ilmu pengetahuan dalam bidang yang diajarkannya sehingga memungkinkan dia untuk mentransfer ilmu tersebut kepada para peserta didiknya. Dari aspek kemampuan teknis, pendidik memiliki berbagai keterampilan mengajar, misalnya persiapan mengajar, proses pembelajaran, sampai pada evaluasi. Komitmen moral, berkenaan dengan sikap mental seorang pendidik yang meliputi mencintai pekerjaannya, disiplin, objektif, dan lain-lain.
2.      Upaya Pembentukan Pendidik yang Profesional
Menurut D.N. Medley sebagaimana dikutip Noeng Muhadjir, ada empat fase asumsi yang melandasi keberhasilan guru dan pendidikan guru. Pertama, penelitian terfokus kepada sifat-sifat kepribadian guru. Kepribadian guru yang dapat menjadi tauladan menjamin keberhasilannya mendidik peserta didik. Kedua, keberhasilan guru dalam mengajar adalah metode mengajar. Metode penyampaian yang baik mendukung keberhasilan pendidikan. Ketiga, mengutamakan iklim interaksi di kelas. Interaksi guru di dalam kelaslah yang menentukan. Iklim di dalam kelaslah yang paling dominan dalam keberhasilan pendidikan. Keempat, memusatkan perhatian kepada penampilan (performance) yang menggambarkan ia memiliki kemampuan (competency). Calon pendidik dievaluasi kemampuan mengajarnya berdasarkan penampilannya meliputi penguasaan materi, strategi penyampaian, penguasaan alternatif media yang tepat, dan lainnya.
Sebuah pendapat menyatakan bahwa kemampuan guru dapat dilihat dari kemampuan mengajarnya. Asumsi ini didasarkan kepada, “guru yang baik adalah guru yang mampu mengajar dengan baik”. Pelatihan maupun workshop tenaga pendidik di berbagai jenjang pendidikan telah menjadi salah satu kebijakan untuk meningkatkan profesionalisme pendidik. Peningkatan profesionalisme pendidik secara kontinu merupakan prasyarat penting bagi proses pemerataan dan penegakan kualitas pendidikan nasional yang selalu bersifat dinamis. Selama ini pengambilan kebijakan berasumsi bahwa pola peningkatan profesionalisme pendidik melalui berbagai bentuk pelatihan, workshop dan semacamnya memiliki nurturant effect yang positif bagi praksis pendidikan, baik secara mikro maupun makro.
Peningkatan profesionalisme pendidik masa depan perlu memanfaatkan pendekatan yang bersifat kolaboratif atau yang dinamakan Collaborative Action Reseach (CAR). Jenis penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan profesionalisme pendidik secara langsung sesuai dengan konteks kultural sekolah-kampus tempat ia mengajar. Hal ini dapat terjadi karena dalam CAR, guru diajak merumuskan masalah dan melakukan langkah-langkah solusinya, kemudian diajak melakukan refleksi terhadap refleksi yang disepakati, dan akhirnya diajak melakukan pengembangan proses pembelajaran sesuai dengan temuan CAR yang mereka lakukan bersama pihak kedua. Model CAR sebagai alternatif pelatihan tenaga pendidik memiliki legitimasi yang kuat, baik dilihat dari aspek akademik maupun setting cultural lembaga pendidikan. Model ini dapat digunakan untuk meningkatkan profesionalisme pendidik secara lebih bermakna. Bahkan, Ject Whitehead, Jean McNiff, dan Sharon Nodhie Oja meyakini bahwa model CAR dapat memberikan jembatan yang efektif terhadap kesenjangan antara tuntutan teori dan tutntutan praktisi profesi. Dalam model CAR ini pendidik dapat diajak oleh kolaboratornya untuk melihat berbagai problem pembelajaran yang dijumpai. Kalau problem itu dapat dipecahkan melalui penelitian kolaboratif, berarti pendidik tersebut secara sadar dapat melihat permasalahan yang sebenarnya dan juga dapat memecahkan permasalahan tersebut bersama kolaboratornya.
3.      Tantangan Profesi Pendidik Masa Depan
Pada tahun 1994 pemerintah Indonesia pernah menyelenggarakan peringatan Hari Guru Internasional (International Teacher Day) yang digabung dengan peringatan Hari Guru Nasional di Istana Negara. Peringatan itu dapat dijadikan indikator betapa pentingnya peran pendidik dalam abad global dan era informasi saat ini. Hal ini berarti komunitas dunia secara global mengakui kontribusi pendidik terhadap pembentukan sikap, perilaku, serta ketercapaian transfer of learning kepada para peserta didik, baik secara individu maupun kelompok.
Kita wajib menghargai jasa para pendidik. Tidak terbayangkan akan seperti apa masa depan generasi muda bangsa jika tanpa sentuhan profesional pendidik ketika mereka berada di sekolah/kampus. Tidak cukup kita menghargai para guru hanya dengan berbagai nyanyian dan gelar kepahlawanan yang cenderung mengkondisikan mereka ke alam pikir “eufemisme”. Sudah saatnya apabila semua pihak terutama pemerintah dan negara menghargai dan mengakui eksistensi pendidik secara profesional dengan segala konsekuensi peningkatan kesejahteraannya.
Pendidik memang tumpuan harapan bagi banyak orang, baik rakyat jelata maupun petinggi negara. Namun demikian, sampai saat ini tidak semua anak bangsa ini dengan suka rela bersedia bercita-cita menjadi pendidik sebagai pilihan utama profesinya. Pendidik memang sering dijadikan idola oleh peserta didiknya, tetapi profesi guru tidak menjadikan semua orangtua berminat mengajak anak-anak mereka untuk mewarisi karier profesi pendidiknya. Oleh karena di jaman yang penuh dengan glamornya harta benda seperti saat ini, memang terbukti bahwa profesi pendidik tidak memiliki daya tarik bagi semua anak bangsa ini yang mempunyai kemampuan akademik prima. Oleh karena itu, perlu ada upaya melakukan professional empowering terhadap eksistensi pendidik, baik pada konteks kehidupan sosial ekonomi maupun akademik mereka. Dengan cara ini pendidik akan menjadi idola dan sekaligus pilihan profesi bagi banyak orang.
Para pengambil kebijakan yang berpengaruh pada kehidupan profesional pendidik perlu segera mengambil tindakan nyata untuk melakukan professional empowering terhadap eksistensi tenaga pendidik. Dengan demikian, mereka dapat benar-benar berperan secara optimal bagi proses pembelajaran peserta didik di sektor pendidikan sekolah maupun luar sekolah.
Pendidik masa kini dan masa mendatang selalu menghadapi tantangan yang amat berat. Tantangannya demikian pelik sehingga dapat membuat pendidik betul-betul harus bekerja keras jika tidak ingin ketinggalan jaman dan kehilangan wibawa di tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Pendidik masa mendatang harus dinamis dan kreatif dalam mencari dan memanfaatkan sumbersumber informasi. Oleh karena dalam era globalisasi, arus informasi dapat muncul dari berbagai media. Akibatnya, pendidik di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang, dan berinteraksi dengan manusia di alam jagat raya ini. Di masa depan, pendidik bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya. Dampak akademiknya adalah ilmu dan pengetahuan yang diperoleh pendidik cepat usang. Dampak pedagogiknya akan berupa jalan yang tersedia bagi peserta didik untuk mencari kebenaran yang bersumber pada media informasi selain pendidik semakin terbuka. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, maka ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan, baik dari peserta didik, orangtua, maupun masyarakat.
Untuk menghadapi tantangan profesionalisme tersebut, pendidik perlu berpikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, pendidik harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara kontinu. Untuk melakukan hal ini, guru-dosen perlu memanfaatkan organisasi atau forum profesi secara efektif. Organisasi profesi pendidik sudah saatnya dimanfaatkan untuk membentuk berbagai kegiatan yang berorientasi pada proses pembaruan sain dan teknologi.
Jika pendidik hanya berjuang sendiri secara individual, ia akan tertinggal semakin jauh dari spektrum perkembangan sains dan teknologi. Sebaliknya, jika pendidik dapat bekerjasama dengan sesama mereka dalam wadah dan organisasi profesi yang fungsional, maka mereka akan dapat melakukan peningkatan profesionalitas secara sinergis. Cara semacam ini jauh lebih efektif untuk menatap tantangan profesi guru-dosen di masa depan jika dibandingkan dengan bila pendidik bertindak sebagai single fighter dalam memecahkan persoalan profesional yang dihadapinya. Saling ketergantungan profesional merupakan ciri penting bagi kehidupan abad informasi. Oleh karena itu, pendidik harus bersatu padu untuk menghadapi tantangan profesi di masa mendatang agar proses sinergi dapat terjadi untuk menegakkan citra profesi diri.
4.      Perlindungan Profesi Pendidik
Pemotongan gaji pendidk yang sering terjadi mencerminkan sebuah realitas kehidupan pendidik yang kurang terlindungi. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya bargaining position pendidik dilihat dari sistem kekuasaan di lingkungan kerjanya. Pendidik tidak lagi memiliki otonomi, baik secara individual maupun kelompok. Keadaan semacam ini dalam jangka panjang akan merugikan kehidupan bangsa Indonesia, mengingat pendidik memiliki peranan yang sangat penting dalam proses peningkatan sumber daya manusia.
Jika pendidik kehilangan otonominya di mata sistem kekuasaan, cepat atau lambat mereka juga akan kehilangan kepercayaan diri. Akibatnya, mereka tidak otonom dalam mengembangkan berbagai strategi belajar mengajar. Jika hal ini terjadi maka peningkatan pendidikan kita secara nasional akan menanggung risiko hilangnya kreativitas pendidik akibat hilangnya otonomi mereka sebagai warga masyarakat. Semakin lama pendidik tidak mampu lagi menjadi sumber informasi bagi lingkungan sekolah, kampus, dan masyarakat.
Permasalahan tersebut dapat terjadi karena pendidik dari waktu ke waktu selalu berada pada pihak yang lemah dilihat dari aspek sosial, ekonomi, maupun politik. Oleh karena itu, mereka lebih menjadi objek sistem kekuasaan. Kondisi semacam ini mengakibatkan pendidik berada pada sistem kehidupan serba marginal. Kondisi mereka yang marginal pada akhirnya membuat pendidik tidak berdaya untuk memberdayakan peserta didik dalam konteks belajar mengajar. Mengingat lemahnya kehidupan ekonomi pendidik saat ini, seharusnya sistem kekuasaan selalu membantu guru-dosen untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Dengan dalih apapun memang tidak pantas lagi gaji pendidik yang sudah amat rendah,dibandingkan dengan gaji para pekerja di sektor swasta, dipotong untuk berbagai macam alasan. Sistem kekuasaan mestinya memikirkan cara-cara untuk meningkatkan kesejahteraan pendidik dengan mobilisasi peran serta masyarakat. Jika sistem kekuasaan gagal membantu pendidik dalam meningkatkan kualitas hidupnya, maka cepat atau lambat praksis pendidikan akan menjumpai kebangkrutannya. Jika sistem kekuasaan kita saat ini tidak mampu meningkatkan kualitas hidup pendidik, maka praksis pendidikan akan gagal mengemban misinya untuk memandirikan siswamahasiswa di berbagai tingkat. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah memberikan perlindungan hukum yang pasti terhadap pendidik. Tanpa perlindungan hukum terhadap pendidik, masyarakat akan semakin menjauhi dan tidak akan menghargai profesi itu. Jika itu terjadi maka citra guru-dosen akan merosot tajam. Citra pendidik yang merosot berpengaruh negatif terhadap proses pembelajaran di sekolah dan kampus.
Dalam peradaban global seperti saat ini, masyarakat dan sisitem kekuasaan yang ada harus mampu mengkondisikan dan menciptakan pendidik yang profesional. Tujuannya agar para pendidik dapat menampilkan kerja secara profesional maka perlu ada perlindungan profesi secara memadai. Dalam sistem perlindungan itu perlu adanya kepastian hukum terhadap siapa saja yang mengganggu otonomi pendidik sebagai tenaga profesional dalam bidang pendidikan.
Oleh karena itu, sistem kekuasaan harus mampu melindungi pendidik dari pikiran-pikiran sesaat yang memiliki dampak pada marginalisasi kehidupan guru-dosen dilihat dari aspek sosial, ekonomi, maupun politik. Tidak saja sistem kekuasaan yang perlu memberikan perlindungan pada profesi pendidik, tetapi masyarakat secara luas pun perlu ikut serta melindungi profesi pendidik.
Dalam kaitannya dengan perlindungan profesi pendidik yang perlu dilakukan oleh masyarakat, Wolmer & Mills serta Amestubun mengajukan beberapa persyaratan terhadap profesionalisme pekerjaan bagi pendidik. Syarat-syarat itu meliputi: pertama, mendapatkan dukungan masysrakat; kedua, mendapatkan pengesahan dari perlindungan hukum; ketiga, memiliki prasyarat kerja yang sehat; dan keempat, mendapat jaminan hidup layak.16 Dari empat persyaratan itu, sudahkah pendidik mendapatkan semuanya? Jika mau jujur, jawabannya adalah “belum”. Oleh karena itu, upaya perlindungan bagi profesi pendidik harus diupayakan oleh masyarakat maupun pemerintah.
5.      Pendidik: antara Profesi dan Prestasi
Profesionalisme pendidik merupakan kunci pokok kelancaran dan kesuksesan proses pembelajaran di lembaga pendidikan formal. Oleh karena hanya pendidik profesional yang bisa menciptakan situasi aktif peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Pendidik yang profesional diyakini mampu mengantarkan peserta didik dalam pembelajaran untuk menemukan, mengelola dan memadukan perolehannya, dan memecahkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan, sikap, dan nilai maupun keterampilan hidupnya. Pendidik yang profesional juga diyakini mampu memungkinkan peserta didik berpikir, bersikap, dan bertindak kreatif.
Telaah atas eksistensi pendidik dalam literatur kependidikan menyatakan bahwa pendidik harus memiliki karakteristik profesional. Pertama, komitmen terhadap profesionalitas yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja (produk), dan sikap continousimprovement (improvisasi berkelanjutan). Kedua, menguasai dan mampu mengembangkan serta menjelaskan fungsi ilmu dalam kehidupan, mampu menjelaskan dimensi teoretis dan praktisnya. Dengan kata lain, mampu melakukan transformasi, internalisasi, dan implementasi ilmu kepada peserta didik. Ketiga, mendidik dan menyiapkan peserta didik yang memiliki kemampuan berkreasi, mengatur dan memelihara hasil kreasinya supaya tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan lingkungannya. Keempat, mampu menjadikan dirinya sebagi model dan pusat anutan (centre of selfidentification), teladan, dan konsultan bagi peserta didiknya. Kelima, mampu bertanggung jawab dalam membangun peradaban di masa depan (civilization of the future).
Cukup banyak sifat dan ciri-ciri pendidik yang profesional, Robert W. Richey mengemukakan delapan ciri-ciri pendidik yang profesional. Pertama, lebih mementingkan pelayanan yang ideal dibandingkan dengan kepentingan pribadi. Kedua, sebagai seorang pekerja profesional, secara relatif memerlukan waktu yang panjang untuk mempelajari konsep-konsep, seperti prinsip-prinsip pengetahuan khusus yang mendukung keahliannya. Ketiga, memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut, serta mampu mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan.
Keempat, memiliki kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap, dan cara kerja. Kelima, membutuhkan kegiatan intelektual yang tinggi. Keenam, adanya organisasi yang dapat meningkatkan standar pelayanan, disiplin diri dalam profesi, dan kesejahteraan anggotanya. Ketujuh, memberikan kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi, dan kemandirian. Kedelapan, memandang profesi sebagai suatu karier hidup dan menjadikan diri sebagai profesional yang permanen.
H.M. Arifin menegaskan bahwa pendidik yang profesional adalah pendidik yang mampu memanifestasikan seperangkat fungsi dan tugas keguruan dalam lapangan pendidikan berdasarkan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan khusus di bidang pekerjaan yang mampu mengembangkan kekaryaannya itu secara ilmiah. Di samping itu, mampu menekuni profesinya selama hidupnya, yaitu pendidik yang memiliki kompetensi keguruan berkat pendidikan dan latihan di lembaga pendidikan guru dalam jangka waktu tertentu. Tidak hanya itu, pendidik yang profesional adalah pendidik yang memiliki kecakapan dalam manajemen kelas dalam rangka proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
Jika profesionalisme keguruan itu dikaitkan dengan akuntabilitas publik, profesi pendidik bukanlah hal yang ringan, melainkan sesuatu yang mengharuskan pelayanan ditingkat kualifikasi profesional yang lebih memadai. Secara sederhana kualifikasi profesional kependidikan pendidik bisa dijelaskan sebagi berikut. Pertama, kapabilitas personal (person capability), artinya pendidik diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan, serta sikap yang lebih mantap dan memadai sehingga mampu mengelola proses pembelajaran secara efektif. Kedua, pendidik sebagi inovator yang berarti memiliki komitmen terhadap upaya perubahan dan reformasi. Pendidik diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan keterampilan, serta sikap yang tepat terhadap pembaruan dan sekaligus penyebar ide pembaruan yang efektif. Ketiga, pendidik sebagi developer yang berarti harus memiliki visi keguruan yang mantap dan luas perspektifnya. Pendidik harus mampu dan mau melihat jauh ke depan (the future thinking) dalam menjawab tantangan-tantangan jaman yang dihadapi oleh sektor pendidikan sebagai sebuah sistem.
Selain persyaratan profesional di atas, pendidik juga disarankan memiliki kepekaan emosional sehingga ia merasa senang dalam menjalankan profesinya. pendidik dalam bekerja didorong oleh hati nuraninya untuk mendidik peserta didik. Panggilan hati nurani guru merupakan dasar kewajiban yang harus melekat pada pendidik untuk melakukan kegiatan pembelajaran dan pendidikan. Oleh karena itu, eksistensi yang sering dilekatkan pada pendidik adalah pembimbing, pengasuh, bahkan guru spiritual.
Profesionalisme pendidik dalam konteks pembelajaran lebih pada kemampuan pendidik dalam mendesain strategi pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas. Strategi pembelajaran merupakan elemen penting yang harus dikuasai oleh pendidik yang profesional, baik mengenai definisi, klasifikasi, metode, dan teknik pembelajaran.
Berkaitan dengan strategi pembelajaran, ada empat hal yang harus dijalankan oleh pendidik yang profesional. Pertama, mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku serta kepribadian peserta didik yang diharapkan. Kedua, memilih sistem pendekatan pembelajaran berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat. Ketiga, memilih dan menetapkan metode dan teknik pembelajaran yang dianggap paling tepat dan efektif dalam pencapaian tujuan pembelajaran.
Pemilihan metode dan teknik pembelajaran ini berkaitan dengan pemilihan media pembelajaran dan pengelolaan kelas. Keempat, menerapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta standar keberhasilan untuk dapat menjadi pedoman dalam melakukan evaluasi.
Profesionalisme pendidik yang berkaitan dengan pendekatan pembelajaran dapat diklasifikasikan ke dalam tiga hal penting. Pertama, model pembelajaran yang meliputi pendidik menyampaikan dan peserta didik menerima materi pelajaran (expository teaching-receptive learning), pembelajaran aktif yang berpusat pada peserta didik dan pendidik sebagai fasilitator (active learning), situasi interaktif antara pendidik dengan peserta didik (interactive learning), dan peserta didik dimotivasi untuk mencari, menemukan, dan memecahkan masalah sendiri (inquiry-discovery-problem solving). Kedua, pengelolaan kelas yang meliputi pendekatan klasikal, kelompok, dan individual. Ketiga, sasaran pembelajaran yang meliputi pendekatan pengalaman, pembiasaan, emosional, rasional, dan fungsional.
Apapun alasan yang diajukan dalam konteks profesionalisme pendidik, kiranya etos kerja keguruan dan mutu produk kerja perlu ditingkatkan. Keberhasilan dan kegagalan pendidik dalam meningkatkan mutu hasil pendidikan, minimal bisa dilihat melalui profil lulusannya. Pada tingkat pendidikan SMA dan Aliyah, seberapa banyak lulusannya masuk di PTN. Pada tingkat sekolah kejuruan/keguruan, seberapa banyak lulusannya diserap ke dalam lapangan kerja. Pada tingkat perguruan tinggi, seberapa banyak lulusannya diterima memasuki sektor profesional publik dan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Jadi, prestasi peserta didik memasuki dunia kerja profesional merupakan barometer keberhasilan kinerja profesional keguruan dan kependidikan di sekolah-kampus.
Berbagai media melansir dalam setiap kesempatan dan hasil penelitian serta hasil penilaian terhadap portofolio guru membuktikan bahwa pembinaan dan pengembangan kompetensi guru SMA Negeri belum berjalan dengan baik.
Pemberitaan dalam berbagai media masa dan gambaran dari hasil penelitian, yang didukung oleh hasil penilaian portofolio guru, menunjukkan bahwa program dan kegiatan pembinaan serta pengembangan kompetensi guru SMA khususnya, komponen kompetensi profesional baik di tingkat kota/ kabupaten maupun secara nasional, masih sangat minim.
Media Indonesia, 1/10/2005 mencatat bahwa guru telah gagal memenuhi indikator pengembangan komponen kompetensi profesional sehingga terganjal kenaikan pangkatnya. Dari pelaksanaan penilaian portofolio guru tahun 2007, salah seorang asesor wilayah Sumbar menemukan bukti yang mempriharinkan itu. Dari 64 dokumen yang dinilai, ternyata, sebanyak 77,4% guru tidak memenuhi indikator sama sekali. Artinya, guru:
a.       jarang melakukan penelitian tindakan kelas (PTK).
b.      Jarang menulis karya tulis lmiah (KTI) hasil penelitian, KTI konseptual, KTI populer, dan KTI untuk seminar.
c.       Jarang menulis buku dan modul/Diktat.
d.      Jarang menyiapkan alat pembelajaran.
e.       Jarang menghasilkan teknologi tepat guna atau TTG/karya seni.
f.       Jarang mengikuti pengembangan kurikulum.
Harian Kompas, 10/10/2007 memberitakan bahwa, secara nasional, hanya sebanyak 8.000 guru yang lulus sertifikasi dari 17.000 dokumen yang dinilai tahun 2007, sedangkan kuota nasional adalah sebanyak 20.000 (3.000 dokumen didiskualifikasi).
Menurut panduan Penelitian Dikti Edisi VII, sebagai penelitian Hibah Bersaing dengan biaya Proyek Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Dikti Sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor 230/ SP2H/DP2M/III/2007, tgl. 29 Maret 2007, membuktikan hal yang senada. Sasaran penelitian adalah guru SMA N Sumbar yang tersebar pada 7 kota dan 12 kabupaten. Lamanya penelitian adalah 3 tahun mulai tahun 2007. Pada tahun pertama (2007), sasasaran penelitian yang disetujui adalah wakil 13 guru bidang studi di 16 SMA N KotaPadang. Total sampel penelitian secara acak bertujuan (purposive sampling) untuk tahun pertama adalah sebanyak 182 orang. Data dijaring, setelah mendapat izin dari Diknas Provinsi Sumbar dan Diknas Kota Padang, melalui kuesioner dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 114 (63%) kuesioner yang kembali, sebanyak 68.75% guru hanya mampu membuat alat pembelajaran, 17.36% yang dapat megikuti kegiatan pengembangan kurikulum, 3.47% saja yang membuat diktat, hanya 2.8% melakukan PTK, 1.4% menulis KTI berdasarkan laporan penelitian, KTI konseptual, KTI populer, karya seni, dan sisanya 0.69% guru yang mampu menulis KTI untuk seminar, menulis buku, dan menghasilkan TTG.

D.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Salah satu komponen pokok dari pendidikan adalah pendidik. Keberhasilan pengajaran dan peningkatan kualitas pendidikan banyak ditentukan oleh pendidik. Karena itulah perhatian tentang pendidik ini harus diutamakan bila ingin meningkatkan hasil pendidikan nasional.
2.      Untuk meningkatkan mutu pendidikan harus berawal dari peningkatan mutu pendidiknya, dedikasi, serta kencintaan kepada profesinya.
3.      Untuk menciptakan tenaga profesional di bidang keguruan pemerintah harus menempuh berbagai macam upaya.
4.      Pendidik adalah suatu jabatan profesional yang harus memenuhi kriteria profesional, yang meliputi syarat-syarat fisik, mental/kepribadian, keilmuan/pengetahuan, dan keterampilan. Kompetensi profesional pendidik selain bersumber dari bakat seseorang, juga pendidikan yang diselenggarakan pada pendidikan guru memegang peranan yang penting.
5.      Dari sebuah penelitian menemukan sebanyak 77,4% guru tidak memenuhi indikator sama sekali. Artinya, guru:
a.       Jarang melakukan penelitian tindakan kelas (PTK).
b.      Jarang menulis karya tulis lmiah (KTI) hasil penelitian, KTI konseptual, KTI populer, dan KTI untuk seminar.
c.       Jarang menulis buku dan modul/Diktat.
d.      Jarang menyiapkan alat pembelajaran.
e.       Jarang menghasilkan teknologi tepat guna atau TTG/karya seni.
f.       Jarang mengikuti pengembangan kurikulum.
6.      Penilitian guru SMA N Sumbar yang tersebar pada tujuh kota dan 12 kabupaten selama tiga tahun mulai tahun 2007. Pada tahun pertama (2007), sasasaran penelitian yang disetujui adalah wakil 13 guru bidang studi di 16 SMA N Kota Padang. Total sampel penelitian secara acak bertujuan (purposive sampling) untuk tahun pertama adalah sebanyak 182 orang. Data dijaring, setelah mendapat izin dari Diknas Provinsi Sumbar dan Diknas Kota Padang, melalui kuesioner dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 114 (63%) kuesioner yang kembali, sebanyak 68.75% guru hanya mampu membuat alat pembelajaran, 17.36% yang dapat megikuti kegiatan pengembangan kurikulum, 3.47% saja yang membuat diktat, hanya 2.8% melakukan PTK, 1.4% menulis KTI berdasarkan laporan penelitian, KTI konseptual, KTI populer, karya seni, dan sisanya 0.69% guru yang mampu menulis KTI untuk seminar, menulis buku, dan menghasilkan TTG.


Daftar Pustaka

1.      Dr. H. Welya Roza, MPd. 13 Agusutus 2008: Kurangnya Pembinaan Terhadap Guru SMA. http://www.bung-hatta.info/tulisan_244.ubh
4.      Hamalik, Oemar. 2004. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: Bumi Aksara.
5.      Muhaimin. 2002. “Reorientasi Pengembangan Guru”, dalam Makalah Pidato Ilmiah Wisuda Sarjana S1 & D2 STAIN Malang, 27 April 2002.
6.      Salam, Burhanudin. 2000. Etika Individual. Jakarta: Rineka Cipta.
7.      Suyanto & Djihad Hisyam. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Melinium III. Yogyakarta: Adi Cita.
8.      Tafsir, Ahmad. 2004. Ilmu Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya.
9.      Tholkhah, Imam & Ahmad Barizi. 2004. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
10.  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
11.  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar